KILAS JAMBI – Society Indonesian Environmental Journalist (SIEJ) Simpul Jambi menggelar nonton bareng (nobar) dan diskusi hasil liputan investigatif tentang kerusakan hutan Pulau Borneo, Kalimantan. Diskusi dan nobar ini berlangsung di kedai kopi yang berada di Telanaipura, Kota Jambi, Sabtu (1/6/2024).
Liputan kolaboratif yang dibuat SIEJ pusat melalui Depati Project itu, melibatkan sejumlah jurnalis dari beberapa media massa yang mengungkap fakta siapa dalang perusakan hutan Pulau Borneo, bagaimana proses tersebut terjadi, serta dampak besar yang muncul akibat penghancuran hutan itu.
SIEJ Simpul Jambi melihat kejahatan lingkungan di Borneo memiliki kemiripan dengan kondisi yang terjadi di Jambi. Atas nama investasi, perusakan kawasan hutan terus terjadi. Data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik awal tahun 2024, Provinsi Jambi masuk dalam 10 besar daerah dengan luas deforestasi terbesar di Indonesia.
Dengan melihat realita itulah SIEJ Simpul Jambi membuat diseminasi liputan penjagalan hutan Borneo untuk menarik benang merahnya ke dalam konteks Jambi.
Diskusi ini bertajuk “Hutan Hilang, Bencana Datang”. Para pemantik diskusi ialah dua jurnalis kolaborator Arief Nugroho, Manajer Kajian Walhi Jambi Dwi Nanto, dan Direktur KKI Warsi Adi Juneidi.
Selain SIEJ Simpul Jambi, para peserta nobar dan diskusi ini berasal dari AJI Jambi, Setara Jambi, WWF, Perkumpulan Hijau, para jurnalis, mahasiswa, dan sebagainya.
Arief Nugroho mengatakan liputan itu dilakukan pada Maret 2024. Para jurnalis dan Depati Project awalnya mendapatkan laporan deforestasi dan penggusuran tanah yang dikelola masyarakat adat di Desa Kuala Hilir, Simpang Hilir, Ketapang, Kalimantan Barat, Kalimantan (Pulau Borneo).
Sesampai di lokasi itu, para jurnalis meliput kawasan yang sudah dirusak PT Mayawana. Masyarakat adat dan satwa terdampak deforestasi tersebut.
“Bagi masyarakat adat, itu sangat penting karena obat-obatan dan makan ada di situ (hutan). Beruntung pembabatan hutan itu dihentikan sementara. Desa Kalau Hilir melakukan perlawanan. Karena mereka khawatir hutan dan ladang yang mereka miliki dibabat dan digusur oleh perusahaan. Jika ditebang habis maka keanekaragaman hayati di sini punah,” katanya.
Deforestasi memang berhenti sementara waktu, tetapi tidak dengan dampaknya. Orang utan beberapa kali masuk ke wilayah konsesi PT Mayawana, terlihat kebingungan karena ruang hidupnya telah dirusak perusahaan.
“Pekerja di sana menyebutkan selama bekerja 3 bulan, hampir setiap hari ada pertemuan dengan Orang utan. Orang utan keluar dari kawasan, dan masuk ke area konsensi. Orang utan terlihat bingung, atau celingak celinguk,” ujar Arief.
Liputan itu dapat disaksikan di CNN Indonesia (TV), Pontianak Pos, Jaring.id, Ekuatorial.com, Betahita.id, dan Mongabay.
Direktur KKI Warsi Adi Juneidi mengatakan deforestasi pun marak terjadi di Jambi selama 50 tahun terakhir. Pada tahun 1973 tutupan hutan di Jambi tercatat 3,4 juta hektare. Namun, pada tahun 2023 tutupan hutan di Jambi hanya tinggal 922.891 hektare.
“Kita simpulkan bahwa hutan tersisa relatif berada di taman nasional, yakni Taman Nasional Kerinci Seblat, Taman Nasional Bukit Duabelas, Taman Nasional Bukit Tigapuluh, dan Taman Nasional Berbak. Ada sedikit atau sebagian di hutan lindung gambut. Ada juga beberapa area di kawasan lindung PBPH,” katanya.
Ia pun mengatakan deforestasi berdampak buruk bagi Orang Rimba. Masyarakat adat ini kehilangan ruang hidup hingga identitas budaya.
“Mereka sampai ke jalan kota. Mereka kehilangan identitas. Jadi untuk mengakui Orang Rimba itu berat, karena tidak ada rimba lagi,” katanya.
Manajer Kajian Walhi Jambi Dwi Nanto mengatakan kerusakan hutan sudah berlangsung di wilayah hulu, tengah, dan hilir Jambi. Pada wilayah hilir Jambi, terdapat ekspansi perkebunan kelapa sawit yang merusak ekosistem lahan gambut.
Perusahaan, kata Dwi, melakukan pengeringan lahan gambut agar bisa ditanami tanaman sawit. Akibatnya, lahan gambut menjadi mudah terbakar.
“Sawit ini spesies yang tidak lahir secara alami di Jambi. Bayangkan satu spesies ditanam di sini. Sawit kalau ditanam di kawasan gambut, tidak bisa. Maka skenario yang dilakukan perusahaan ekstraktif, akhirnya tidak patuh PP Nomor 57 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Gambut,” katanya.
Ia pun mengatakan Walhi Jambi mewanti-wanti terjadinya eksploitasi sumber daya alam di hulu Jambi yang dilakukan perusahaan skala besar. Bila itu sudah terjadi, bencana ekologis yang lebih parah menjadi keniscayaan.
“Apa yang terjadi di hulu? itu akan berdampak sama dengan hilir. Adanya tambang dan ekspansi kebun. Kita bisa bayangkan kalau dampak ekstraktif masuk dengan skala besar, akan menguasai hulu. 50 tahun ke depan, wilayah hulu akan sama seperti tengah dan hilir,” katanya.
Koordinator SIEJ Simpul Jambi berharap diskusi ini dapat memicu isu lingkungan di Jambi semakin ramai dibahas publik.
“Bisa melalui publikasi media dan diskusi publik. Kemudian, adanya diskusi lanjutan yang bisa membahas persoalan yang menyangkut lingkungan di Jambi, seperti kondisi Sungai Batanghari yang merupakan urat nadi kehidupan masyarakat Jambi,” katanya.