KILASJAMBI – Hari sudah petang, Tumenggung Ngilo harus meninggalkan kebun karetnya sebelum gelap. Mengendarai sepeda motor, Ngilo menyusur jalan setapak ditumbuhi belukar menuju kediaman bersama puluhan Orang Rimba di Pemenang, Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi. “Kalau sedang tidak berburu, saya nyadap karet di kebun,” kata Ngilo ketika ditemui di kediamannya, Jumat, (12/4).
Berburu merupakan kegiatan rutin yang dilakukan Orang Rimba untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari. Babi sasaran utama saat berburu. Kalau nasib baik, kancil dan rusa jadi berkah hasil buruan yang bisa mereka santap. “Sekarang ini sudah susah untuk dapat kancil dan rusa. Paling sering itu dapat babi,” jelasnya.
Butuh waktu dua hingga tiga malam di dalam hutan untuk Ngilo bersama kelompoknya berburu. Mengandalkan kecepek, senjata yang mereka rakit sendiri, buruan jarang meleset dari bidikan. Kemampuan berburu dan merakit senjata ini sudah didapatkan Ngilo dan Orang Rimba secara turun temurun. “Kalau tidak berburu, tidak makan,” ungkapnya.
Saat hasil buruan babi dapat lebih dari tiga ekor, Ngilo menjualnya. Uang hasil penjualan binatang itu mereka gunakan untuk membeli beras. Kalau tidak dapat buruan sama sekali, mereka pun mencari ubi untuk dimakan.
Diakui Ngilo, kebutuhan pangan kelompoknya, saat ini, semakin sulit. Karena tidak bisa mengandalkan hasil buruan saja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ada kalanya mereka harus mengumpulkan berondolan sawit di kebun warga untuk dijual. Kadang memungut buah pinang yang jatuh berserakan di kebun warga.
Hasil memungut berondolan sawit dan pinang ini mereka jual per kilo Rp7 ribu. Rata-rata mereka bisa menjual sampai 10 kilogram. Sedangkan untuk kebun karet, Orang Rimba di bawah kepemimpinannya harus bergantian mengolahnya. Karena, mereka harus berbagi dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. “Pernah beras satu kilo harus dibagi-bagi. Kami utamakan beri makan anak kecil,” katanya.
Kondisi seperti ini harus mereka lalui setiap hari. Tak heran, penyakit mudah menyerang karena asupan makanan yang kurang. Diagnosisnya petugas penyakitnya maag. “Mungkin karena jarang makan,” ungkapnya.
Ngilo berharap pemerintah peka terhadap kondisi mereka. Ia tidak melupakan bantuan tempat tinggal kepada beberapa kelompok Orang Rimba. Namun, menurutnya, kebutuhan lahan untuk berkebun jauh lebih penting. Karena kebanyakan bantuan rumah dari pemerintah juga tidak digunakan kebanyakan Orang Rimba di Jambi.
Tidak jauh berbeda dengan kelompok Tumenggung Ngilo, kelompok Orang Rimba di Desa Bukit Suban, Kecamatan Air Hitam, Kabupaten Sarolangun, Jambi juga mengalami hal serupa. Mereka masih harus keluar masuk hutan untuk mencari makanan dan berjalan hingga delapan kilo meter menuju kebun mengambil makanan.
“Tempat tinggal yang disediakan pemerintah jauh dari lahan pangan,” kata Njalo, Orang Rimba di bawah kepemimpinan Tumenggung Grip.
Persoalan lainnya, di dalam Taman Nasional Bukit Duabelas sudah semakin sempit untuk kehidupan Orang Rimba Jambi. Akibatnya, hewan buruan juga semakin sulit didapatkan. Mencari jernang, getah karet dan damar menjadi pilihan yang harus mereka lakukan untuk mendapatkan uang membeli kebutuhan makan sehari-hari.
Nasib Njalo pun tak jauh beda dengan Ngilo. Jika tak mendapat hewan buruan, getah karet belum bisa dijual, damar dan jernang juga tidak ada, mereka terpaksa makan gadung, umbi-umbian yang mengandung racun, banyak tumbuh di hutan.
Meski beracun, diakuinya, Orang Rimba sangat mahir mengolah tanaman beracun ini. Dengan cara, Gadung dimasukan ke dalam karung, kemudian di rendam ke dalam sungai mengalir beberapa hari. Selanjutnya, Gadung dijemur dan diiris untuk direbus. “Kadang juga makan Benor dan Umbut (keduanya umbi-umbian di dalam hutan),” katanya.
Untuk berburu, diakui Njalo, mereka bisa melakukan dengan dua cara. Pertama, menggunakan Kecepek (menembak), kedua dengan memasang jerat. “Jerat kami buat dari kulit kayu. Dipasang di lintasan hewan buruan. Dibiarkan dua hari, biasanya ada Babi yang terjerat,” jelasnya.
Diakui Njalo, Orang Rimba tidak memakan binatang ternak. Hanya memakan binatang liar di dalam hutan. Ini sudah tertuang dalam adat Orang Rimba. “Kami tidak makan hewan ternak seperti Ayam, Kambing, Sapi, dan Bebek. Karena bagi kami, Ayam itu Kuwau di dalam hutan, Kambing itu Kijang, dan Sapi itu Rusa,” jelas Njalo.
Dengan adanya aturan adat ini, menjadikan Orang Rimba dengan orang desa tidak saling berebutan buruan binatang. Orang Rimba tidak akan mencari binatang ternak, dan orang desa tidak mencari binatang di dalam hutan. “Aturan ini juga menjadi perjanjian Orang Rimba dengan orang dusun,” katanya.
Sementara itu, Robert Aritonang, Manejer Program Konservasi dan Pemberdayaan KKI Warsi, menjelaskan bagaimana pola Orang Rimba Jambi dalam memenuhi kebutuhan pangan. Sejak 1997, dirinya melakukan penelitian terhadap kehidupan Orang Rimba, sudah terjadi berbagai perubahan pola pemenuhan kebutuhan pangan Orang Rimba.
Dikatakannya, kebiasaan Orang Rimba memenuhi kebutuhan pangan yaitu berburu, meramu dan bercocok tanam. Ketiga cara ini masih ada yang melakukan dan ada yang tidak. Karena, tidak semua Orang Rimba hidup di dalam Taman Nasional Bukit Duabelas. “Orang Rimba yang masih di dalam (hutan), masih berburu, meramu, dan bercocok tanam. Sedangkan yang tinggal di luar taman nasional sudah ada yang berkebun karet,” jelasnya.
Meski sudah ada yang berkebun karet, berbeda dengan petani karet lainnya. Selain kebun karet yang tidak luas, hasil karetnya dijual hanya memenuhi kebutuhan sehari-hari. “Seperti membeli gula, kopi, rokok dan ikan,” kata Robert.
Memakan Gadung, Benor dan Umbut, itu biasanya dilakukan Orang Rimba ketika memasuki masa Remayo (paceklik). “Biasanya Remayo itu terjadi ketika mereka sedang Belangun (mengembara meninggalkan suatu tempat karena ada kematian anggota kelompok),” ujarnya.
Selama perjalanan Belangun, Orang Rimba memakan Gadung, Benor dan Umbut. “Itu akan kelihatan di sepanjang perjalanan mereka. Ada bekas galian tanah mencari Gadung, Benor dan Umbut,” ungkapnya.
Memakan umbi-umbian hutan ini, kata Robert, merupakan cara Orang Rimba memenuhi kebutuhan karbohidrat. Sedangkan untuk protein, babi hasil buruan merupakan binatang paling sering dikonsumsi. Ada juga hewan sejenis kura-kura yang dikenal Orang Rimba dengan nama Si Bodo. “Kalau dapat sarang Si Bodo itu, mereka bisa mendapatkan sampai puluhan ekor,” katanya.
Sedangkan binatang yang paling gampang didapatkan untuk dikonsumsi Orang Rimba yaitu Katak dan Kelembuai (Keong). “Pola memenuhi kebutuhan pangan ini masih dilakukan Orang Rimba yang tinggal di Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) atau di sekitarnya (kebun perusahaan dan warga, red),” jelas Robert.
Namun, kata Robert, Orang Rimba yang sudah tidak tinggal di dekat kawasan taman nasional jauh lebih sulit hidupnya dalam memenuhi kebutuhan pangan. Karena, mereka tinggal di kebun-kebun sawit atau karet yang tidak terdapat makanan yang biasanya lebih mudah didapatkan di dalam hutan.
“Seperti di Pamenang Bangko, tidak mungkin Orang Rimba di sana menemukan hutan. Hanya mengandalkan berburu babi. Kalau saat Remayo, mereka mengambil buah sawit yang jatuh untuk dijual. Bahkan, ada yang merebus buah sawit untuk dimakan,” ungkapnya.
Meski persoalan pangan Orang Rimba belum menjadi perhatian serius Pemerintah Provinsi Jambi. Ini terbukti tidak ada program pertanian dan ketahanan pangan mengarah khusus kepada Orang Rimba Jambi. “Kalau khusus untuk Orang Rimba Jambi dari provinsi tidak ada. Tapi kalau unuk program ketahanan pangan juga dilakukan di tiap kabupaten. Mungkin ada programnya di daerah,” kata Badrun Tamam, Plt Kepala Dinas Pertanian Ketahanan Pangan Provinsi Jambi, Senin 15 Mei 2017.
Dikatakannya, program Pemerintah Provinsi Jambi mengarah kepada bantuan ke tiap desa. “Program untuk desa ini juga bagi Orang Rimba yang ada di desa-desa di Provinsi Jambi,” ujarnya.
Salah satu masalah program pertanian untuk Orang Rimba Jambi kata Rudi Syaf, Manejer Program dan Komunikasi KKI Warsi, yaitu ketersediaan lahan yang tidak memadai di sekitar Orang Rimba Jambi. “Salah satu solusi lahan pertanian untuk pangan Orang Rimba Jambi, yaitu areal di bawah pemegang izin hutan produksi mengalokasikan untuk Orang Rimba berdasarkan teritorial masing-masing,” katanya.
Kekurangan Pangan Berujung Kematian
Persoalan Pangan yang berujung kematian Orang Rimba, sudah terjadi sejak tahun 1997. Kematian beruntun Orang Rimba sudah terjadi sejak tahun 1997. Terakhir di tahun 2015, puluhan Orang Rimba mati beruntun dalam tiga bulan.
Memang bukan karena tidak mendapatkan makanan, mereka langsung meninggal. Tapi karena asupan makanan yang kurang, mengakibatkan Orang Rimba gampang terserang penyakit. “Daya tahan tubuh mereka lemah, penyakit gampang menyerang,” kata Robert.
Ditambah lagi, tidak adanya fasilitas kesehatan terdekat. Anak-anak tidak pernah diimunisasi dan tingkat gizi rendah. Belum lagi land clearing alias menggunduli lahan, hanya tersisa hamparan tanah, yang dilakukan perusahaan perkebunan di sekitar Taman Nasional Bukit Duabelasa adalah wilayah Orang Rimba hidup dan mencari makan.
Land clearing rata-rata mencapai 200 hektar perbulan yang dilakukan tiap perusahaan. “Jangankan manusia, binatang saja tidak bisa hidup di areal land clearing,” jelas Robert.
Kondisi seperti ini kata Robert semakin memperparah kondisi Orang Rimba ketika sedang Belangun. Sulit menemukan makanan. Sehingga kekurangan asupan makanan/gizi dan daya tahan tubuh menjadi lemah dan gampang terserang penyakit.
Dari data KKI Warsi, sedikitnya 10 perusahaan hutan tanaman industri (HTI) berada di sekitar kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas. Total keseluruhan areal HTI 318.648 hektar.
Menurut Robert, untuk jangka panjang, jaminan perlindungan hak Orang Rimba atas kawasan hidup termasuk lahan dan sumber daya di dalamnya harus dilakukan negara. Perlindungan ini terutama yang berada atau tumpang tindih izin konsesi HTI dan HGU perkebunan.
Bagi perusahaan yang sudah terlanjur melakukan okupasi terhadap kawasan hidup Orang Rimba, Robert mengatakan pemerintah harus turun tangan memastikan hak Orang Rimba mendapat kompensasi dari perusahaan. Kompensasi yang dimaksud tak lain jaminan kehidupan jangka panjang dari perusahaan. Berupa lahan atau kebun, atau bagi hasil keuntungan perusahaan.
Karena hutang perusahaan kepada Orang Rimba berbeda maknanya dengan tanggung jawab sosial. Robert mengatakan upaya mendapatkan kembali hak Orang Rimba di tanah leluhur yang sudah dikuasai perusahaan perlu didorong berbagai pihak seperti LSM, Komnas HAM, media dan akademisi. “Perlu tindakan darurat untuk Orang Rimba mengalami malnutrisi dan sakit,” katanya.
Tidak hanya menyediaan makanan, penambahan gizi, pemberian inmunisasi, terobosan administrasi untuk layanan kesehatan juga perlu segera dilakukan. Robert mencontohkan puskesmas mobile untuk Orang Rimba dengan sumber daya pendukungnya, dapat menjadi salah satu tindakan segera untuk menjangkau layanan ke mereka.
Akhir 2015, Lembaga Eijkman mengeluarkan data hasil penelitian kerentanan terhadap penyakit pada Orang Rimba Jambi. Penelitian dilakukan terhadap penyakit seperti malaria dan hepatitis. 583 Orang Rimba diperiksa dalam penelitian ini.
Hasilnya, prevalensi Hepatitis B Antigen Orang Rimba menunjukkan hiperendemisitas. Pada populasi dewasa 33,9 persen (hiperendemik). Prevalensi ini tinggi di semua kelompok usia 17-55 tahun (usia produktif). Tertinggi pada rentang usia 36-40 tahun, dan menurun pada usia > 55 tahun. Tidak jauh berbeda dengan penderita Malaria.
Mengatasi persoalan kesehatan Orang Rimba Jambi, Dinas Kesehatan Provinsi Jambi mengatasinya dengan program pelayanan kesehatan bergerak di daerah terpencil. Kegiatan ini dilakukan di lima lokasi berbeda dalam satu tahun.
Fitri Balgis, Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan Dinas Kesehatan Provinsi Jambi mengatakan petugas telah melakukan pemeriksaan dan pengobatan gratis kepada Orang Rimba. Termasuk sosialisasi bagimana pola hidup bersih dan sehat. “Seperti sosialisasi kesehatan terhadap ibu dan anak,” katanya, Senin (15/5).
Ia mengatakan setelah beberapa kali pertemuan dengan Orang Rimba Jambi, perilaku hidup tidak sehat masih sering ditemukan. Karena, Orang Rimba Jambi hidup berpindah-pindah dan tinggal di pondok-pondok. “Penyakit kulit, flu dan kutu rambut sering kami temui,” katanya.
Kematian beruntun yang menimpa Orang Rimba Jambi menurutnya hubungan dengan ketersediaan pangan. Akibatnya persoalan gizi kurang sangat dominan. “Daya tahan tubuh kurang dan mudah terserang penyakit,” katanya menjelaskan. Bersambung Jejak Orang Rimba. (Ramond EPU)