KILAS JAMBI – Hari menjelang siang, sengatan terik matahari mulai terasa di ubun-ubun kepala. Nyai Salbiah, 60 tahun, langsung melepas kerudung dan kaos kaki bergaris merah di kakinya.
Nyai Salbiah baru saja usai menggarap sawah miliknya di bagian sebelah hilir, sawah yang tak lama lagi akan ia panen. Sawah yang terletak di Payo Tebakar, Desa Muarojambi itu, sebagian padinya memang mulai menguning.
“Sekarang belum manen, padinyo belum masak,” kata Nyai Salbiah, kepada kilasjambi.com, Kamis (01/10).
Hampir setiap hari Nyai Salbiah bersama anak lelakinya menggarap sawah warisan mendiang suaminya itu, ia hanya tak berada di sawah jika ada undangan kenduri dari tetangga atau kerabat.
“Hari-hari sayo memang di umo (pematang sawah), dari pagi sampe sore,” kata Nyai Salbiah.
Sambil mengguncang-guncang kaleng yang terikat di seutas tali nilon yang terbentang di hamparan sawah miliknya, dengan maksud untuk mengusir hama burung pipit, Nyai Salbiah menuturkan jika ia sangat bersyukur bisa bertanam padi. Dari hasil panen, ia tak perlu was-was memikirkan untuk membeli beras.
Apalagi di masa pandemi saat ini, dimana sebagian besar perekonomian keluarga terguncang sehingga kesulitan memenuhi kebutuhan pokok, terutama bagi keluarga kalangan menengah ke bawah, seperti Nyai Salbiah.
Dari sekitar tiga hamparan sawah tadah hujan miliknya, Nyai Salbiah memperkirakan tahun ini akan mendapat hasil panen berupa gabah sekitar 200 kaleng, setiap kaleng berisi sekitar 10 kilogram gabah.
“Itupun hasil panen tahun kemarin masih ada siso 39 kaleng lagi, apolah makan cuma duo beranak,” katanya.
Bukan hanya bisa memenuhi kebutuhan pokok dalam satu tahun saja, setiap hasil panen yang dilakukan setahun sekali itu, Nyai Salbiah bisa mendapat tambahan uang dari hasil penjualan gabah dan beras.
“Kalu padi (gabah) dijual Rp50 ribu per kaleng, tapi kalu jadi beras, segantang dijual Rp45ribu,” kata Nyai Salbiah.
Gabah atau beras yang dijualnya biasa dibeli warga dusun setempat, bahkan juga dibeli pihak pondok pesantren yang berada di Desa Danau Lamo. Desa yang tak jauh berada dari Desa Muarojambi.
Namun cuaca penghujan saat ini membuat Nyai Salbiah belum bisa menjemur padi yang tersimpan di dalam kaleng. Ia terpaksa mengurungkan niatnya untuk mengolah gabah menjadi beras.
“Lamo dak jemur hari kurang panas,” katanya.
Dalam menggarap sawah, setidaknya, Nyai Salbiah membutuhkan waktu sekitar lima sampai enam bulan mulai dari membersihkan sawah, menyemai hingga proses panen.
“Paling lamo enam bulan sudah panen,” kata Nyai Salbiah yang mengaku mendapat bantuan bibit padi dari pemerintah sebanyak enam karung ukuran 20 kg.
Selama mengelola sawah, Nyai Salbiah bersama anak lelakinya juga berinisiatif menanam cabai merah dan tanaman palawija lainnya. Khusus cabai merah, dilakukannya dengan cara tumpang sari, cabai ditanam di antara petak sawah.
“Kemaren panen cabe dapat 45 kilo, sayo jual Rp22 ribu per kilonya. Kalu jagung untuk makan dewek, begitu juga kacang tanah hasilnyo direbus untuk cucu,” katanya.
Keteguhan hati Nyai Salbiah yang tetap bertahan untuk memilih bercocok tanam padi, membuatnya tak perlu gusar memikirkan urusan perut. Dalam sekali panen cukup untuk setahun. Cara yang membuat Nyai Salbiah tetap aman dan nyaman dari sisi perekonomian di tengah terjangan pandemi dan ancaman resesi. (kilasjambi.com)