Puluhan petani perempuan berada di barisan paling depan. Sembari menuntun anak-anak, mereka membentangkan spanduk bertuliskan berbagai tuntutan petani. Dari perempatan Bank Indonesia Telanaipura, Selasa (26/9/2023) siang, mereka berjalan kaki diiringi oleh ratusan petani laki-laki menuju gedung wakil rakyat untuk menyampaikan tuntutannya.
“Payo…payo… kagek (nanti) aggota dewan lari,” teriak sesorang dengan lantang di belakangnya.
Lantunan lagu “Buruh Tani” lamat-lamat terdengar dari dalam barisan, mengiringi aksi mereka dalam peringatan Hari Tani 2023. Orasi demi orasi dari perwakilan kelompok tani juga mereka suarakan dari pelantang suara di tengah massa.
Mayoritas massa aksi petani yang datang itu berasal dari petani di Kumpeh, Muaro Jambi. Mereka bergabung besama petani dari daerah lain, mahasiswa, dan seniman.
Tujuannya sama, mereka membawa tuntutan; menuntut pemerintah melaksanakan reforma agraria sejati sekarang juga sebagai jalan penyelesaian konflik agraria di Provinsi Jambi.
Massa aksi yang datang ke gedung wakil rakyat itu ingin mengadukan nasib mereka. Petani yang datang umumnya sedang sengsara karena dirundung konflik agraria dengan kelompok pengusaha yang telah merebut lahan kehidupan mereka.
Mereka tergusur kepentingan kapitalisme, pengusaha yang menggerogoti wilayah pertanian desa. Mereka menuntut adanya penyelesaian atas konflik agraria yang terus terjadi sampai sekarang. Kriminalisasi petani, dan tindakan sewenang-wenang harus dihentikan.
Hal ini menjadi sebuah sebuah ironi di negeri yang agraris. Alih-alih memberikan kesempatan petani untuk menggarap pertaniannya, pelbagai kriminalisasi masih terjadi, dan malah menggusur lahan pertanian produktif.
“Kami tidak akan pulang sebelum menang,” teriak Yasir, anggota Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Jambi.
Massa aksi terhenti di depan pintu gedung DPRD Provinsi Jambi. Di depan pintu masuk gedung wakil rakyat itu barigade polisi telah siaga menghalau massa. Di sisi kiri gedung, sebuah mobil water cannon polisi tampak disiagakan. Muncung air water cannon menghadap ke massa.
Di depan gedung wakil rakyat itu, mereka memita pimpinan DPRD Provinsi Jambi untuk keluar menemui mereka. Alih-alih ditemui oleh pimpinan wakil rakyat, justru mereka ditemui oleh Ketua Komisi II DPRD Jambi Abdul Hamid.
Namun mereka tak puas dengan jawaban Abdul Hamid, yang dinilai tidak tegas menjawab persoalan konflik agraria yang tengah dihadapi petani. Mereka pun meng-ultimatum para pimpinan DPRD Jambi untuk menemui mereka.
“Kami sepakat untuk menginap di sini, sampai ada penyelesaian yang konkrit terhadap konflik agraria, jangan hanya pansus-pansus,” kata seorang perwakilan petani.
Peringkat Kedua Konflik Agraria
Duduk di barisan depan, tatapan seorang perempuan paruh baya itu masygul. Kedua bola matanya memancarkan kesedihan dan meneteskan air mata.
Ia memikirkan ihwal bagaimana nasib generasinya nanti. Lahan garapannya yang jadi tumpuan keluarga masih berkonflik dengan perusahaan.
Apa yang terjadi pada petani kecil ini adalah contoh dari konflik agraria yang terjadi di negeri ini. Hal ini menjadi sebuah sebuah ironi di negeri yang agraris. Alih-alih memberikan kesempatan petani untuk menggarap pertaniannya, pelbagai kriminalisasi masih terjadi, dan malah menggusur lahan pertanian produktif.
Setelah 63 tahun UU Pokok Agraria diundangkan, ketimpangan struktur agraria dan konflik agraria masih terus terjadi. Hampir seluruh sektor telah terjadi penguasaan secara besar-besaran atas sumber agraria.
Kebijakan pertanian yang tidak pro terhadap petani turut memperparah kemiskinan pedesaan. Catatan Aliansi Petani Indonesia (API) rata-rata terdapat 59 rumah tangga tani yang keluar dari sektor pertanian/jam. Kondisi yang terjadi itu adalah tak bisa dilepaskan dari dampak penguasaan lahan secara-besaran oleh korporasi sehingga berdampak pada konflik agraria yang tak berujung.
Provinsi Jambi tercatat sebagai pemegang konflik nomor dua terbesar se-Indonesia. Dalam setahun terakhir ini banyak terjadi letusan konflik. Petani dan aktivis agraria semakin diintimidasi dan dikriminalisasi.
Aparat yang seharusnya sebagai penegak hukum mestinya menjunjung tinggi nilai nilai keadian dinegara ini, bukan mengkriminalisasi petani.
Dari berbagai macam kasus konflik agraria di Provinsi Jambi, baik di sektor Hutan Tanaman Industri (HTI), perkebunan, dan tambang. PT Wirakarya Sakti (WKS)–Sinar Mas Group menjadi penyumbang konflik terbesar di lima kabupaten di Provinsi Jambi, yang merampas lahan garapan petani.
Tahun 2021 hingga 2023, konflik agraria di sektor perkebunan juga tidak luput dari sorotan publik, seperti konflik agraria antara masyarakat Desa Sumber Jaya dengan PT FPIL (Fajar Pematang Indah Lestari), masyarakat Desa Betung dengan eks PT RKK (Ricky Kurniawan Pertapersada), masyarakat Dusun Pematang Bedaro, Desa Teluk Raya dengan PT FPIL.
Hingga saat ini konflik agraria tersebut tidak menemukan titik terang dalam penyelesaiannya, yang terjadi malah masyarakat terus diintimidasi dengan berbagai macam cara, seperti menggunakan preman serta aparat keamanan. Sebanyak 28 warga telah diproses secara hukum pidana karena memperjuangkan hak atas tanah.
Terhadap upaya kriminalisasi tersebut menurut mereka, bisa dilihat sebagai rangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh konflik agraria struktural. Selain tidak melalui proses hukum acara pidana yang jelas, penggunaan hukum pidana pada persoalan konflik agraria bukanlah solusi sebagai jalan penyelesaian.
“Malahan hal ini akan memicu terjadinya konflik berkepanjangan,” kata Frandodi dari KPA Jambi.
Kehadiran perusahaan juga telah menyebabkan petani kehilangan lahan garapan mereka, anak-anak di desa putus sekolah, pemuda menjadi pengangguran, perempuan banyak menjadi buruh harian lepas, serta hadirnya perusahaan juga telah menyebabkan kerusakan lingkungan di Provinsi Jambi.
Frans Dodi mengatakan ada 14 konflik agraria yang ‘meletus’ di Jambi tahun ini. Kemudian terdapat 28 petani yang dikriminalisasi. Sebanyak 12 orang di antaranya sudah ditahan.
“Konflik Agraria yang terjadi telah menghancurkan budaya dan kearifan lokal yang diwarisi oleh nenek moyang kita sejak dahulu,” ujar Frandodi.