“Sampah plastik bukanlah persoalan. Ini tentunya bagi mereka yang mau membuka diri untuk memanfaatkannya menjadi barang yang bernilai ekonomi.”
Tiga orang jurnalis muda; Tarmizi, Riska Amelia dan Asila Aprilia telah melakukan reportase terkait persoalan seputar sampah plastik dan nilai ekonomisnya untuk pembaca kilasjambi.com
***
Adalah Santoso (50) yang telah mendirikan Bank Sampah “Bangkitku” sejak tahun 2014 lalu. Bank Sampah ini beralamat di Jalan Basuki Rahmat Kecamatan Kota Baru Kota Jambi.
Pendirian bank sampah ini dilatarbelakangi oleh keinginannya untuk mengolah sampah. Sampah, menurutnya, ada di mana saja, dan mudah didapat.
“Sampah harus dapat diubah menjadi bernilai ekonomi,” katanya, Selasa (6/10).
Ia mendapatkan pendidikan di banyak tempat, terkait pengolahan dan daur ulang sampah.
Berbagai macam jenis sampah ia dapatkan, terutama jenis an-organik, seperti plastik. Yang selanjutnya diolah menjadi tas atau topi, ataupun barang lainnya.
“Satu buah tas yang berasal dari sampah plastik dapat kami dijual dengan harga Rp250 ribu,” katanya.
Terkait pola penjualan, para pembeli yang langsung datang ke kedai mereka. Atau saat mereka mengikuti berbagai pameran skala lokal dan nasional.
Mereka? Ya, karena Santosa tidak seorang diri saja. Terdata sebanyak 148 orang nasabah “Bangkitku” di Kota Jambi ini.
“Perputaran uang di bank sampah ini bisa mencapai Rp25 juta per tahun,” kata Santosa.
Data Lingkungan Hidup (DLH) Kota Jambi menyebutkan volume sampah di Kota Jambi mencapai 630 ton per hari. Sebanyak 20 persennya adalah sampah plastik.
Ardi, Kepala DLH Kota Jambi mengatakan Kota Jambi memiliki Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Talang Gulo. Diperkirakan,Talang Gulo masih dapat digunakan hingga satu tahun ke depan.
“Kami telah mempersiapkan TPA baru, yang tidak terlalu jauh dari TPA Talang Gulo, dengan luasan lahan yang mencapai 21 hektar,” katanya.
Ia mengatakan sampah, terutama sampah plastik, adalah persoalan masyarakat modern di mana saja, termasuk Kota Jambi. Sehingga, sudah semestinya untuk dicari solusinya.
Seperti melakukan pemilahan sampah dan memanfaatan sampah melalui bank sampah atau Tempat Pembuangan Sampah (TPS). Cara ini dikenal dengan Reduce, Reuse and Recycle (3R).
“Sampah plastik dapat dimanfaatkan untuk sesuatu yang bernilai ekonomis. Sementara yang tidak dapat dimanfaatkan akan dibuang ke TPA Talang Gulo,” katanya.
Upaya yang dilakukan Santoso melalui bank sampah “Bangkitku” di awal tulisan ini, adalah contoh dari sistem 3R yang ia sebutkan.
Untuk menekan jumlah sampah plastik, Pemerintah Kota Jambi telah mengeluarkan Peraturan Walikota nomor 61 tahun 2018 tentang Pembatasan Penggunaan Kantong Belanja Plastik.
Setelah peraturan walikota ini berlaku, katanya, sampah plastik menurun hingga 20 persennya. Sebab, banyak pusat perbelanjaan yang telah menerapkan untuk “tidak menjual” kantong plastik belanjaan.
Sejak beberapa tahun terakhir ini, muncul gerakan kesadaran banyak anak muda untuk menggunakan plastik secara minimal. Artinya, meskipun tetap tidak bisa dihindari untuk digunakan, namun, penggunaannya harus ditekan sesedikit mungkin.
Youth Culture, atau gerakan anak muda itu juga telah ada di Kota Jambi. Beberapa dari mereka berada di Program Studi (Prodi) Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Jambi.
Rio Zulkarnain, seorang mahasiswa prodi Biologi mengatakan persoalan sampah di Kota Jambi cukup mencemaskan. Ini dapat dilihat dengan adanya lokasi tumpukan sampah di banyak titik.
“Tumpukan-tumpukan sampah itu dibiarkan begitu saja tanpa penanggulangan dari pihak berwenang dan warga setempat,” katanya.
Menurutnya, harus ada inovasi yang dilakukan untuk menanggulangi kondisi ini. Sampah, khususnya plastik, katanya, jika berada di genangan air di saluran pembuangan akan dapat menyumbat saluran air.
“Tumpukan sampah di air dapat mengancam keberadaan dari hewan-hewan yang hidup di air. Padahal, banyak warga yang bergantung dari mencari ikan dan sejenisnya,” katanya.
Jika sampah plastik berada di darat, katanya, maka akan mencemari tanah. Sampah plastik merupakan bahan yang amat sulit terurai oleh tanah, dan butuh waktu berpuluh-puluh tahun untuk menguraikannya.
“Jika tanah telah dicemari oleh sampah plastik maka akan mengganggu vegetasi tumbuhan,” katanya.
Saat ini, katanya, anak-anak muda di Kota Jambi telah mengkampanyekan penggunaan minim plastik. Namun, katanya, perlu kolaborasi dari berbagai elemen masyarakat untuk mengkampanyekan hal ini.
“Kampenye harus aktif dilakukan di platform media sosial dan terjun langsung ke masyarakat, agar semakin banyak orang yang mengikuti gaya hidup penggunaan plastik secara minim ini,” katanya.
Budaya, yang juga semangat untuk menerapkan gaya hidup modern dengan pedoman kehidupan tradisional. Sehingga, plastik dapat diganti dengan bahan alami.
Seperti, botol minum, sendok garpu dan pipet. Seharusnya dapat dibuat dari kerajinan bambu. Termasuk juga piring dan kantong belanja.
Sebuah budaya yang berbasis pada pemahaman bahwa alam lingkungan harus tetap dijaga dengan baik. Tentunya, oleh manusia, sebagai “main character” dari dunia ini. ***