Jambi, kilasjambi.com – Lahan perusahaan pemegang izin konsesi di Jambi banyak yang mengalami kebakaran berulang, terutama di kawasan gambut. Di antaranya perusahaan yang mengantongi izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH).
Padahal pembukaan lahan gambut mewajibkan perusahaan untuk membuat kanal, terjadinya kebakaran berulang karena terjadi kerusakan pada sekat kanal dan sumur bor, kemudian pemasangan kanal tidak pada titik kebakaran.
Menurut data Sipongi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Kebakaran hutan dan lahan di Jambi seluas 115.634,34 hektare pada 2015, tahun 2016 terbakar seluas 8.281,25 hektare, kemudian tahun 2017 kembali membara seluas 109,17 hektare. Lalu tahun 2018 terbakar 1.577,75 hektare dan memuncak pada 2019 dengan total 56.593 hektare, kemudian 950 hektare pada tahun 2020.
Sedangkan dari Analisis Citra Satelit Lansat TM 8 tanggal 16 September 2019 yang dilakukan Komunitas Konservasi Indonesia WARSI tercatat 47.510 hektare kawasan hutan dan lahan yang terbakar. Dari luas ini lebih dari separo, tepatnya 28.889 hektare berada di kawasan gambut. Luas lahan yang terbakar ini menyumbang kabut asap dan partikel debu yang membahayakan kesehatan manusia.
Masih dari catatan WARSI, jika dilihat pada pemanfaatan lahan, kebakaran hutan dan lahan terjadi hampir di semua peruntukkan lahan. Yaitu Hutan Tanaman Industri (HTI) dengan areal terbakar seluas 10.194 hektare, HPH 8.619 hektare, Perkebunan Sawit 8.185 hektare, Hutan Lindung 6.712 hektare, Restorasi Ekosistem 6.648 hektare, Taman Nasional 3.395 hektare, Lahan Masyarakat 2.956 hektare, dan Taman Hutan Raya (Tahura) 801 hektare.
Melihat data kebakaran yang terjadi di Provinsi Jambi hampir semuanya berada dalam kawasan yang ada pemilik, dan pihak yang bertanggung jawab terhadap kawasan tersebut
“Kebakaran hutan dan lahan di Jambi itu paling banyak di lahan gambut, karena memang sudah terpengaruh dengan kanal, sehingga ketika musim kemarau gambut menjadi kempes,” kata Sukmareni, Koordinator Divisi Komunikasi WARSI, 19 Oktober 2021.
Menurutnya, di Jambi, lahan gambut yang tersisa dan relatif tidak rusak hanya ada di Hutan Lindung Gambut (HLG) seperti di Taman Nasional Berbak dan HLG Sungai Buluh.
Itu pun, kata Sukmareni, kawasan HLG sudah dikepung oleh banyak perusahaan pemegang izin konsesi. Mulai dari HTI, HPH maupun perusahaan sawit.
“Sekarang kita mendorong masyarakat untuk memperoleh izin pengelolaan lahan gambut dari KLHK dengan skema hutan desa, agar gambut terjaga dengan baik,” katanya.
Jika lebih detail terlihat di Jambi, dua perusahaan HPH yaitu PT Putra Duta Indahwood (PDI) dan PT Pesona Belantara Persada (PBP) yang keduanya berada di Kabupaten Muaro Jambi, mengalami kebakaran lahan berulang yaitu pada tahun 2015 dan di tahun 2019.
Demikian juga dengan perusahaan HTI, juga mengalami kebakaran berulang baik di tahun 2015 maupun di 2019. Antaranya PT Wira Karya Sakti (WKS), dan eks PT Diera Hutani Lestari (DHL). Perkebunan Sawit yang juga terbakar berulang ada PT Citra Indo Niaga (CIN), PT Agro Tumbuh Gemilang Abadi (ATGA), dan PT Mega Anugrah Sawit (MAS).
“Kebakaran berulang ini menunjukkan bahwa ada ketidakmampuan pemegang izin di kawasan gambut untuk menjaga kawasan kelolanya aman dari bahaya kebakaran,” kata Sukmareni.
Kelalaian Pemegang Konsesi
Dikatakannya, ada ketidakpatuhan pemegang izin di kawasan ini untuk mempertahankan muka air gambut minimal 40 centimeter di bawah permukaan tanah. Di samping itu juga ada ketidakpatuhan untuk menyiapkan sarana dan prasaran serta sumber daya untuk penanggulangan kebakaran.
Padahal, lanjutnya, PP Nomor 57 tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Sistem Gambut jelas menyebutkan kewajiban untuk mempertahankan muka air gambut minimal 40 cm dari permukaan, dan kewajiban untuk tersedianya peralatan dan manusia yang bertanggung jawab untuk mencegah kebakaran secara mutlak.
“Namun faktanya di lapangan ada perusahaan yang menurunkan permukaan air gambut hingga kedalaman dua meter,” katanya.
Untuk menyelamatkan Jambi dari bencana kebakaran yang berulang setiap kemarau, WARSI menyerukan kepada berbagai pihak terutama perusahaan pemegang konsesi. Untuk mengembalikan gambut pada fitrahnya sebagai daerah lindung, terutama gambut dalam. Di Provinsi Jambi terdapat 29.701 hektare gambut dengan kedalaman lebih dari empat meter yang dibebani izin untuk HTI dan Perkebunan Sawit.
“Kita memang tidak bisa mengintervensi perusahaan, tetapi kita terus kampanyekan agar dilakukan reforma gambut, fungsi gambut harus dikembalikan,” katanya.
Kebakaran Lahan Didominasi Izin Perusahaan
Dari hasil investigasi yang dilakukan selama empat bulan oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jambi terhadap restorasi gambut di kawasan perusahaan yang berkedudukan di Jambi pada tahun 2020 lalu. Sebagian besar perusahaan tidak menjalankan mandat restorasi, adapun objek investigasi atau pemantauan dilakukan di tiga daerah. Meliputi Kabupaten Sarolangun, Muaro Jambi, dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur.
Metodologi yang dilakukan Walhi dengan pemantauan mulai dari analisis spasial dan analisis temuan di lapangan, analisis sumber data dari dokumen Rencana Tindak Tahunan (RTT).
Ada delapan perusahaan yang diinvestigasi, mulai dari HTI, HPH, dan perkebunan kelapa sawit. Yaitu PT Bahari Gembira Ria, PT Kaswari Unggul, PT SNP, Bahana Karya Semesta, dan PT Primatama Kreasi Mas (Perkebunan Sawit). Kemudian PT Putra Duta Indahwood dan PT Pesona Belantara serta PT WKS Distrik VII (HTI).
“Dari delapan perusahaan ini persoalannya sama, tidak merestorasi gambut dan masih menanam di kawasan gambut dalam (peat dome),” kata Manejer Advokasi Walhi Jambi, Dwi Nanto.
Dwi juga memaparkan hasil temuan di lapangan seperti tidak ada pembangunan sekat kanal. Dan setelah kebakaran, perusahaan masih menanami sawit kembali.
“Seharusnya dalam regulasi harus dipulihkan, karena kewajiban restorasi sudah ada diregulasi,” kata Dwi, 20 Oktober 2021.
Dari hasil temuan itu, Walhi memberikan catatan khusus. Di antaranya kebakaran lahan yang terjadi di Jambi khususnya masih didominasi izin perusahaan. Bahkan perusahaan masih mengalami kebakaran yang berulang setiap musim kemarau. Kemudian masih ada wilayah gambut di Jambi yang seharusnya menjadi perhatian serius karena mengalami kerusakan dan belum dilakukan restorasi.
“Munculnya kembali wilayah kebakaran di area perusahaan membuktikan bahwa sampai saat ini upaya penegakan hukum masih lemah dan upaya restorasi yang gagal,” kata Dwi.
Dwi Nanto menjelaskan, pascabencana kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) 2015, pemerintah membentuk program restorasi gambut. Di Jambi program pemulihan gambut itu ditetapkan target seluas 200.772 hektare.
Dari luasan target tersebut, di antaranya terbagi meliputi kawasan lindung 46.415 hektare, kawasan budidaya tidak berizin (non-konsesi) 25.885 hektare dan kawasan budidaya berizin (konsesi) seluas 128.472 hektare.
“Kebakaran berulang di lahan perusahaan terjadi karena mereka mengabaikan aturan restorasi gambut,” kata Dwi.
Subsiden Gambut
Penelitian gabungan antara lembaga yakni Delv Hidrolik, Belanda, Singapore-Delft Water Alliance (SDWA) dan Universitas Jambi, menunjukkan konektivitas hidrologi gambut terganggu karena fenomena subsiden karena rusak berat akibat eksploitasi perusahaan. Hal ini melepas banyak karbon. Kemudian sinaran mentari 12 jam, akan mempercepat kerusakan gambut.
Studi yang dilakukan 2004-2020, menunjukkan terjadi subsiden hingga 150 cm terhadap perkebunan yang dibuka periode 1992-2002. Lalu pada periode 2003-2009 subsiden sebesar 72 cm. Dan, periode 2009-2020 sebesar 5 cm, sehingga total seluruhnya sudah subsiden 272 cm pada lahan yang sama.
Selain itu, kajian dari World Resources Institute (WRI) Indonesia (https://wri-indonesia.org/id/blog/kerusakan-lahan-gambut-tropis-merupakan-sumber-emisi-co2-yang-terabaikan) menyebutkan, setiap hektare gambut tropis yang dikeringkan untuk pengembangan perkebunan mengeluarkan rata-rata 55 metrik ton CO2 setiap tahun, kurang lebih setara dengan membakar lebih dari 6.000 galon bensin.
Secara keseluruhan Indonesia telah kehilangan gambut hampir 50 persen sejak tahun 1970-an, karena proses dekomposisi dan subsiden. Hal ini yang dikhawatirkan para peneliti, termasuk Aswandi Idris, Ahli Hidrologi Universitas Jambi.
“Indonesia memiliki lahan gambut seluas 22 juta hektare, saat ini kita telah kehilangan 10 juta hektare. Kalau air laut sudah masuk ke daratan, maka tidak bisa lagi digunakan untuk lahan pertanian,” kata Aswandi.
Tanda fungsi Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) sudah rusak adalah fluktuasi kenaikan atau penurunan debit air sangat cepat dari maksimum ke minimum, begitu juga sebaliknya.
“Apabila ingin menyelamatkan gambut, tidak boleh ada ‘super power’ dari perusahaan,” kata Aswandi menegaskan.
GFW Tampilkan Deforestasi Kian Meluas
Data terbuka dari Global Forest Watch (GFW) menunjukkan jika di Jambi setiap tahun deforestasi makin meluas, sejalan dengan pengurangan tutupan pohon terutama di lahan gambut yang di atasnya terdapat perusahaan pemegang izin HPH.
Dua foto tangkapan layar di atas yang bersumber dari GFW memperlihatkan lapisan berwarna orange pada peta yang merupakan lahan HPH milik PT Putra Duta Indahwood dan PT Pesona Belantara Persada sebelum tahun 2015, terlihat peringatan deforestasi (lapisan berwarna merah) masih sedikit, bahkan nyaris tidak ada sama sekali. Dua perusahaan HPH ini seluruh areal lahannya berada di atas lahan gambut (lapisan berwarna biru).
Namun perubahan drastis terjadi ketika peringatan deforestasi (GLAD) pada peta GFW di atas dilakukan analisa dengan rentang tahun 2015 hingga 2016, terlihat lapisan berwarna merah yang merupakan peringatan deforestasi langsung meluas, terutama di areal milik PT Pesona Belantara Persada.
Ketika dilakukan analisa dari tahun 2015 hingga 2021, terlihat dari peta GFW di atas menggambarkan bila peringatan deforestasi menyebar hampir di seluruh areal lahan HPH milik PT Putra Duta Indahwood dan PT Pesona Belantara Persada.
Dari hasil analisa-analisa peta tersebut, mulai dari 2001 hingga 2020 Jambi kehilangan 246 kilo hektare dari tutupan pohon.
Sedangkan untuk daerah Kabupaten Muaro Jambi yang merupakan wilayah PT Putra Duta Indahwood dan PT Pesona Belantara Persada beroperasi. Dari analisa GFW, mulai tahun 2002 sampai 2020, Muaro Jambi kehilangan 80,2 kilo hektare hutan primer basah, menyumbang 34% dari total kehilangan tutupan pohon dalam periode yang sama. Area total hutan primer basah di Muaro Jambi berkurang 57% dalam periode waktu tersebut.
Terlihat dari infografis di atas, kehilangan tutupan pohon paling banyak terjadi di tahun 2016 dengan luas 55,6 kilo hektare, setelah kebakaran hutan dan lahan besaran-besaran melanda Provinsi Jambi pada tahun 2015.
Restorasi Kewajiban Perusahaan
Kapokja Humas Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM), Didy Wurjanto mengatakan, restorasi gambut merupakan kewajiban perusahaan sesuai dengan kontrak dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Didy mengatakan, dalam restorasi gambut, perusahaan harus membangun sekat-sekat kanal, pembuatan sumur-sumur bor, pembetukan desa-desa peduli gambut, dan kegiatan-kegiatan lain sesuai arahan KLHK dan BRGM.
“Nah siapa yang memastikan perusahaan lakukan restorasi. Itu KLHK, mungkin dibantu NGO (Non Government Organization),” kata Didy, 21 Oktober 2021.
Didy menjelaskan, gambut itu ada di wilayah yang berizin dan wilayah yang tidak berizin. Bila target BRGM saat itu berada di wilayah tidak berizin, itu langsung digarap BRG. Bila di wilayah berizin yang mengerjakan restorasi adalah pemegang izin bersama KLHK.
“BRGM hanya kerja di atas gambut yang rusak, dengan target 1,2 juta hektare di tujuh provinsi, di luar kawasan berizin,” kata Didy.
Namun meski tidak bisa memberikan sanksi kepada perusahaan yang abai terhadap restorasi gambut, BRGM bisa memberikan rekomendasi ke KLHK. Berdasarkan regulasi Kementerian LHK akan ada wanprestasi terhadap kewajiban perusahaan.
“Tahapan sebelum ke pemberian sanksi tentu dilakukan peringatan atau teguran,” kata Didy.
Perusahaan Klaim Patuhi Aturan Restorasi
Sebagai perusahaan HTI yang sebagian besar lahannya berada di kawasan gambut, untuk mengantisipasi lahan kembali terbakar dan sebagai upaya pencegahan dini, PT WKS melakukan upaya-upaya pencegahan melalui sosialisasi penyadartahuan baik ke masyarakat dan ke internal karyawan tentang bahaya Karhutla.
Lalu memasang rambu larangan membakar hutan dan lahan, serta membentuk Masyarakat Peduli Api dan membangun Desa Makmur Peduli Api (DMPA), sebagai stimulus pengembangan usaha produktif masyarakat agar tidak bergantung pada cara-cara pembukaan lahan dengan dibakar.
“Selain itu DMPA juga berfungsi sebagai insentif bagi desa yang berhasil membuat wilayahnya bebas dari kebakaran hutan dan lahan, upaya partnership bersama masyarakat merupakan kunci pencegahan Karhutla di sekitar wilayah kerja kita,” kata Taufik Qurochman, Humas PT WKS, melalui keterangan tertulis, 26 Oktober 2021.
Persiapan alat dan regu pemadam kebakaran, katanya, juga sebagai upaya tanggap api dengan memastikan seluruh sarana dan prasarana tersedia dan berfungsi dengan baik. Sehingga dapat digunakan apabila terjadi kejadian Karhutla.
“Mengoptimalkan sistem deteksi dini dalam upaya mendapatkan informasi sesegera mungkin sebelum lahan terbakar membesar dan tidak terkendali, kita sudah membentuk Tim Reaksi Cepat (TRC) yang siap langsung memadamkan lokasi terbakar bahkan hingga radius 5 KM di luar areal kerja PT WKS,” kata Taufik.
“Untuk pengelolaan gambut kita masih patuh terhadap arahan pemerintah yang tertuang di dalam dokumen pemulihan gambut,” tambahnya.
Dokumen pemulihan gambut itu berisi perintah-perintah tentang rehabilitasi fungsi hidrologis gambut dengan mengatur tinggi muka air tanah sesuai instruksi pemerintah, serta membangun infrastruktur pembasahan. (riki)
Liputan ini didukung oleh The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ), Global Forest Watch (GFW) dan World Resources Institute (WRI) dalam program Workshop dan Kompetisi Jurnalistik “Memanfaatkan Platform Global Forest Watch untuk Memantau SDA dan Hutan Indonesia”.