KILAS JAMBI – Matahari tepat di atas kepala. Tubuh berpeluh. Langkah kaki mulai berat dan kaku. Setelah empat jam perjalanan. Perburuan gadung dan benor sia-sia. Kami pun istirahat untuk santap siang.
Depati Kedundong Mudo, Jalo keras menolak makanan yang diberikan. Sebab kepercayaan Bedewo. “Maaf, kami beayam kuaw, bekambing kijang,” sebut lelaki rimba, yang pernah menyampaikan protes ke Istana Bogor terkait deforestasi di Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD).
Orang Rimba tidak memakan hewan ternak orang terang (Suku Melayu dan Jawa) seperti ayam, kambing dan sapi. Tetapi memakan semua binatang seperti ular, kijang, babi, kura-kura, biawak, monyet, rusa, tikus, kelelawar dan burung.
Untuk memenuhi kebutuhan karbohidrat, Orang Rimba memakan ubi atau singkong, keladi, gadung dan benor. Sekarang, kata Jalo, keberadaan gadung dan benor semakin langka.
Gadung berbentuk bulat lonjong, bewarna coklat mirip sirsak. Rasanya lebih enak dan lezat dibanding singkong. Sedangkan benor berbentuk busur panah. Dengan tekstur lembut, rasanya sedikit manis.
Selain itu, Orang Rimba memakan buah-buahan. Biasanya, kebun buah (benuaron), sambung Jalo berbuah lebat di awal tahun. Beberapa tahun belakangan, tak berbuah. Sama dengan tampui, pedaro, rambutan dan langsat.
“Kalau pun ada, petahunon meralang atau musim buah sedikit, tidak banyak,” kata Jalo dalam perjalanan berburu benor dan gadung di kedalaman hutan TNBD.
Dalam perjalanan di hutan selama hampir 10 jam, kami tidak menemukan gadung maupun benor, makanan utama Orang Rimba. Tiba di pondok atau sesudongan Ngandui, kami boleh melihat bahan makanan. Meskipun dilarang memotret. Tampak sepotong ikan nila dalam periuk bersama nasi. Pada tungku masak, terdapat bungkus mie instan dan bumbunya. Ada gula dan kopi. Garam dan masako tertumpuk di sudut dapur.
Ketika memiliki banyak uang, Orang Rimba hanya membeli sedikit beras, tegas Jalo. Tetapi memborong makanan ringan atau jajanan, mie instan, gula dan kopi serta ikan lele atau nila untuk lauk.
Interaksi dengan dunia luar merubah pola makan Orang Rimba. Selama hampir 50 tahun mereka bertahan dan mengadopsi. Mengutip jurnal kajian wilayah, Lembaga Ilmu Pengatahuan Indonesia (LIPI) yang terbit 2016, Ekoningtyas Margu Wardani, Food for Indigenous Communities in Times of Global Crisis Reflection from the experiences of Orang Rimba Community and Ifugao Community.
Pada awal tahun 1970, Departemen sosial RI, ‘memburu’ dan meluncurkan proyek pemukiman untuk Orang Rimba. Proyek-proyek ini membangun 50-100 rumah dan memasok bantuan barang, seperti makanan dan alat pertanian. “Orang Rimba ‘dipaksa’ keluar hutan dan menetap. Mereka diberi makan layaknya orang terang,” kata Wardani.
Proyek ini gagal total. Sebab dalam waktu relatif singkat, Orang Rimba sudah kembali masuk hutan dan meninggalkan pemukiman, selamanya. Ambisi pemerintah untuk ‘memanusiakan’ Orang Rimba terus berlanjut, pada 1980 para pendatang mendiami pemukian Orang Rimba melalui program transmigrasi.
Pada fase ini, lanjut Wardani ribuan Orang Rimba menderita. Pembukaan lahan secara besar-besaran membatasi ruang gerak Orang Rimba bahkan membasmi cadangan makanan seperti gadung, benor, dan keladi termasuk buah-buahan hutan. Sungai-sungai dangkal dan aliran airnya terputus. “Ikan semakin sulit didapat,” sebut Wardani lagi.
Para pendatang merangsek pada hutan terakhir Orang Rimba. Begitu pula warga lokal, gencar menebang pohon untuk kebun karet. Pembalakan liar menjarah masuk kawasan hutan. Orang Rimba, kata Wardani semakin terjepit. Tradisi berburu dan meramu semakin sulit dilakukan.
Perlahan baik dari orang terang (sebutan Orang Rimba untuk warga lokal dan pendatang) maupun Orang Rimba, membangun interaksi. “Mereka belajar bercocok tanam, menanam padi,” sebut Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) ini.
Setelah medio 1990, ketika perkebunan sawit dan karet masif ditanam. Orang Rimba mengenal banyak makanan, seperti mie instan, kopi, gula, garam, penyedap rasa dan beras. Setelah mengalami pergeseran pola makan, variasi makanan Orang Rimba juga berkurang. Apabila musim buah, Orang Rimba jamak memakan buah, tanpa ada makanan lain. Begitu juga saat memiliki banyak uang, mereka akan memakan jajanan dan mie instan. Hal ini membuat mereka rentan terserang penyakit.
Kekurangan variasi makanan, lanjut Wardani membuat asupan makanan bergizi ke dalam tubuh tidak seimbang. Sehingga daya tahan tubuh menurun. Apalagi, mereka dominan mengkonsumsi makanan pengawet dan pewarna. Kemudian asupan makanan berkarbohidrat sedikit dan sangat jarang konsumsi protein.
Kata Wardani, setelah meneliti di kelompok Sako Tulang yang tinggal di bagian barat TNBD. Kemudian, kelompok Terab memiliki gaya hidup mengembara di dalam dan di luar hutan Bukit Duabelas. Terakhir, kelompok Air Hitam yang setia hidup di dalam hutan.
“Ketahanan dan keamanan pangan Orang Rimba, perlu mendapat respon serius dari pemerintah. Agar tidak berdampak buruk terhadap kesehatan Orang Rimba,” sebut Wardani.
Pergesaran pola makan Orang Rimba tidak hanya dipengaruhi budaya dan interaksi sosial, melainkan perubahan lingkungan di sekitar kawasan TNBD. Bahkan dengan pemanasan global yang memicu perubahan iklim, semakin mengancam bahan pangan Orang Rimba. Kendati demikian, Orang Rimba memiliki banyak kearifan lokal, untuk bertahan dan menolak punah.
Selamat Datang Bercocok Tanam
Kala kelam merayapi kaki Bukit Duabelas, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Tarib atau H Jaelani berdiri di beranda rumah, sembari menunjuk ke jejeran batang sawit. Dulu, kata dia, hutan lebat. Untuk menembusnya, kami harus berjalan hingga 20 hari. Kini, hutan tersisa sedikit di belakang rumah. Itulah TNBD.
Pembukaan hutan untuk kebun sawit dan karet nyaris membuat Orang Rimba punah. Makanan sangat sulit ditemukan. Buah seperti durian, rambutan, tampoi, langsat, manggis, dan cempedak jarang berbuah. Kalau pun ada, rebutan dengan beruang, monyet dan landak.
Hewan seperti rusa, kijang, kancil, tapir, labi-labi sangat jarang, habis diburu. “Makanan yang ada hanya babi, kelelawar, monyet, kura-kura, biawak, ular dan tikus,” sebut mantan Tumenggung Sungai Terab yang pernah menerima penghargaan Kalpataru dari Presiden RI.
Sungai Air Hitam, Makekal dan Kejasung, sungai terbesar di TNBD sebagian berada dalam perkebunan sawit. Sehingga pada musim hujan, banjir. Orang Rimba, tambah Tarib terserang penyakit gata-gatal dan muntaber gastroenteritis. Selanjutnya ketika musim kemarau, sungai kering. Orang terang lalu meracun ikan. “Ikan mati semua. Kalau kita minum airnya, bisa juga mati,” sebut Tarib yang menetap di Dusun Air Hangat setelah memeluk Islam.
Gadung dan benor mulai langka. Maka sebagian sudah ada yang menanam gadung, padi dan ubi. Untuk memakan gadung, harus diolah dengan benar: diiris tipis, kemudian direndam di air mengalir selama 12 jam kemudian dijemur. Baru bisa dimasak dan dimakan. Itupun, kata Tarib, bisa memabukkan.
Orang Rimba sudah biasa mabuk gadung. Meskipun bisa merenggut nyawa, lanjut Tarib, mereka tidak kapok makan gadung. “Kepala berat dan pening. Dalam leher seperti terbakar. Bumi berputar-putar, mata berkunang-kunang. Berjalan terhuyung-huyung. Muntah-muntah, perut melilit-lilit,” kata Tarib begitulah rasanya mabuk gadung.
Direktur Eksekutif KKI Warsi Jambi, Rudi Syaf menuturkan produksi dan kandungan nutrisi pangan Orang Rimba menurun. Mereka tidak ada pilihan, selain mengkonsumi gadung. Melihat tren, durasi mabuk gadung belakangan lebih panjang 5-7 jam, biasanya empat jam. Dia menyakini dampak perubahan iklim telah terjadi di Orang Rimba.
Deforestasi membuat tutupan hutan di provinsi Jambi pada tahun 2017, hanya tersisa 930 hektar atau 18 persen dari total 2 juta hektar. “Idealnya 40 persen,” kata Rudi menjelaskan.
Tutupan hutan di kawasan Bukit Duabelas, pada 1989 sekitar 130.308 hektar. Namun pada 2008, susut tajam menjadi 60.483 hektar. Kondisi ini, membuat pemanasan global yang memicu perubahan iklim, berdampak signifikan bagi Orang Rimba.
Musim kemarau menjadi lebih lama, begitu juga musim hujan. Tidak hanya mendatangkan kekeringan, tetapi kebakaran. Apabila memasuki musim banjir, sebagian besar Orang Rimba menderita penyakit kulit. Pada medio 1990 lalu, belasan anak-anak Orang Rimba terserang penyakit muntaber. Akibat kerusakan kualitas air sungai, saat pembukaan perkebunan sawit.
Minimnya variasi makanan, banyak Orang Rimba menderita Hepatitis B. Hasil studi Eijkman dan Warsi Jambi, sambung Rudi, memperlihatkan prevalensi Hepatitis B sebesar 33,9 persen pada Orang Rimba. Penyakit yang menjangkiti sepertiga dari populasi Orang Rimba, dapat menyebabkan kanker hati. “Pola makan yang tidak sehat, bisa jadi pemicunya,” sebut Rudi lagi.
Pada 2015 lalu, karena mengalami krisis pangan saat melangun, 11 Orang Rimba meninggal dunia. Mereka berasal dari Kelompok Terap, Kelompok Serenggam dan Kelompok Ngamal, empat anak-anak dan delapan orang dewasa.
Perubahan iklim mengancam pangan Orang Rimba. Dampaknya, berburu dan meramu tidak menjamin, untuk memenuhi kebutuhan pangan. Ia mencontohkan sarang lebah madu hutan (sialang), produksi turun 80 persen. Buah-buahan juga tidak bagus. “Makanan mengandung protein tinggi, seperti rusa, kijang, dan kancil sulit ditemukan. Ikan di sungai tidak ada,” kata Rudi menjelaskan.
Sebelum adanya deforestasi secara masif, Orang Rimba berdaulat dalam pangan. Ketahanan pangan dan keamanan pangan terjamin. Untuk mendapatkan makanan, Orang Rimba cukup berburu dan meramu sehari. Hasilnya bisa makan satu keluarga untuk waktu seminggu.
Sekarang, untuk mendapatkan gadung, Orang Rimba harus masuk ke hutan puluhan kilometer. Berbeda dengan benor, mereka harus menggali hingga 10 meter ke dalam tanah. Keberadaan pangan lokal ini sudah terbatas, ditambah persaingan sesama Orang Rimba. Untuk saat ini, di kawasan TNBD saja, ada sekitar 2.000 jiwa dari 14 kelompok ketemenggungan. “Untuk gadung dan benor, ya siapa cepat dia dapat,” tegasnya.
Pilihan terakhir untuk memenuhi kebutuhan pangan. Orang Rimba harus bercocok tanam, menanam padi, ubi, gadung dan karet. Meskipun padi ladang mengandalkan hujan. Hama tanaman meningkat. Kadar nutrisi pangan berkurang bahkan bisa beracun. Rudi meyakini Orang Rimba mampu menghadapi perubahan iklim.
“Perubahan iklim dapat mempengaruhi kualitas pangan dan meningkatkan kadar racun makanan,” ujar Sam Myers, seorang doktor dan peneliti senior yang mempelajari kesehatan lingkungan di Harvard T.H. Chan School of Public Health.
Hasil penelitian Myers yang dipaparkan dalam Climate and Health Meeting menyebutkan perubahan iklim menurunkan produktivitas tanaman pangan, meningkatkan hama dan mengurangi kadar nutrisi. Bahkan meningkatkan konsentrasi racun pada bahan makanan.
Kenaikan suhu global telah merubah pola hujan dan musim. Myers memprediksi dalam 50 tahun mendatang kadar karbon dioksida bumi tinggi. Hal ini mempengaruhi kadar protein, seng dan zat besi tanaman menjadi lebih rendah.
Cuaca ekstrem dan perubahan iklim akan meningkatkan racun pada bahan makanan, yakni bisa menghasilkan zat nitrat. Dalam kadar tertentu, nitrat bisa bersifat toksik. Senyawa lain yang berpotensi meracuni manusia adalah hidrogen sianida.
Ancaman keamanan pangan Orang Rimba telah begitu nyata. Prediksi dari para peneliti, Worchester dan Eder terkait kepunahan masyarakat adat telah didengungkan 30 tahun lalu. Namun Orang Rimba tetap bertahan; mereka bercocok tanam.
Depati Jalo mengaku berburu dan meramu bisa saja tinggal cerita. Tetapi menanam padi, ubi dan gadung di ladang, memelihara ikan di sungai, merawat kebun buah (benuaron), berkebun karet dan budidaya jernang adalah masa depan.
Selama tidak bertentangan dengan kepercayaan, kami akan menerima makanan modren seperti kue, mie instan dan kopi, serta makanan ringan. “Kami tetap akan bertahan,” tutup Jalo penuh harapan. (Suwandi)