Permainan Tradisional Taji: Melatih Kejelian dan Ketangkasan Anak

KILAS JAMBI – Ada banyak permainan tradisional yang mengantre punah. Selain tidak dimainkan lagi, sangat sedikit peneliti yang melakukan pengkajian terhadap permainan tradisional taji.

Permainan tradisional taji berasal dari daerah Kabupaten Bungo, Tebo, Sarolangun, Merangin, dan Batanghari. Pemainnya anak laki-laki berumur 7-15 tahun dengan jumlah minimal dua orang. Alat yang dipergunakan adalah biji duren yang diberi semacam taji (senjata) yang terbuat dari lempengan baja berbentuk huruf S dan Z.

“Kita akan fokus melestarikan berbagai macam permainan tradisional. Tahap awal kita lakukan festival, kemudian penelitian dan menerbitkan buku,” kata Kasi Tradisi Bidang Pelestarian Nilai Budaya Seni Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jambi, Eri Argawan, Selasa, 7 Juli 2020.

Penata tari Sekintang Dayo ini, meyakini hanya beberapa anak di Jambi yang memainkan taji. Terakhir populer pada 1990-an dan dimainkan hampir seluruh kampung di berbagai daerah. Dengan adanya game digital dan semakin mudahnya orang mengakses internet, tentu permainan tradisional seperti taji dan beberapa permainan lain seperti pancit, bedel plasak, dan patok lele kurang diminati.

Lelaki kelahiran Kabupaten Batanghari ini berharap para akademisi melakukan kajian, untuk menyelematkan nilai-nilai permainan tradisional sebagai bentuk pelestarian dari produk kebudayaan. Selanjutnya mendorong agar pemerintah daerah, menjadikan karya budaya berupa permainan tradisional masuk dalam mata pelajaran di sekolah.

Permainan taji, sambung Eri, dimulai dengan melakukan pasangan taji dengan cara melobangi biji duren untuk memasukkan tali. Kemudian taji bagian puting ditusukkan pada biji duren sehingga mata taji berada di atas.

Selanjutnya diadakan suit untuk menentukan siapa pemasang taji dan siapa yang akan menaji. Siapa yang kalah akan bertindak sebagai pemasang dan yang menang sebagai penaji.

Pemasang mengarahkan mata tajinya ke atas sambil memegang tali tersebut dengan kedua belah tangan, sedangkan penaji dengan memegang tali sambil memutar-mutarkan ke arah taji pemasang tadi dengan penuh perhitungan dan bidikan yang tepat.

Seandainya bidikan mengenai sasaran maka taji akan mengenai biji duren, tetapi jika bidikan meleset akan mengenai tanah maka penaji berganti menjadi pemasang, begitu seterusnya.

“Permainan dianggap kalah apabila biji duren pecah berkeping-keping, baik sebagai penaji maupun sebagai pemasang,” kata Eri yang selalu membuat karya tari dari kearifan lokal.

Hal senada diungkapkan Peneliti Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, Bagus Indrayana.

Menurut Bagus, saat memaparkan hasil penelitiannya di Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM), mainan tradisional memiliki fungsi sosial dan budaya terkait dengan perkembangan anak menuju pemilikan pengetahuan dan keterampilan baik individu maupun kolektif.

Ia mengatakan, mainan tradisional memiliki peranan signifikan dalam menumbuhkan kebebasan berkreasi, keleluasaan menetapkan pilihan material, bentuk, teknik, dan aturan bermain secara mandiri.

Proses pembuatan mainan tradisional menjadi ajang transformasi pengalaman, pengetahuan, dan keterampilan orang tua kepada anak-anak.

“Proses tersebut mendorong anak-anak untuk menciptakan mainan sendiri sekaligus mengembangkan imajinasi, daya kreasi, dan keterampilan mereka,” katanya.

Menurut dia, keberagaman mainan tradisional diciptakan tidak hanya sebagai sarana bermain semata. Selain itu mainan tradisional diciptakan dengan mengejawantahkan nilai filosofi dan keindahan fungsional yang sangat kompleks.

“Kompleksitas tersebut berkaitan dengan pandangan, perilaku, dan aktivitas hidup masyarakat penggunanya,” katanya.

Misalnya, dalam mainan dhakon, yang dibuat dari batu berkaitan dengan upacara ritual yang di dalamnya mengandung nilai rohani, makna sosial, dan ungkapan estetika masyarakat.

Ia mengatakan, mainan tradisional perlu diteruskan kepada generasi muda untuk menjaga eksistensi di tengah maraknya beraneka macam mainan modern saat ini.

Salah satunya bisa dilakukan dengan mengadakan festival mainan tradisional. Melalui kegiatan itu diharapkan generasi muda dapat menghayati dan memahami kompleks nilai di dalamya.

“Pewarisan juga bisa dilakukan melalui pendidikan formal maupun nonformal, misalnya dengan membentuk komunitas peduli mainan tradisional dan pembelajaran muatan lokal di sekolah,” tutup Agus. (Wendi)

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts