Kilasjambi.com, Jambi – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jambi bersama lembaga Perkumpulan Alam Hijau (A-Hi) dan Pundi Sumatra menggelar diskusi publik bertajuk “Menilik Peran Media di Jambi, Menyuarakan Suara Kelompok Marginal”. Diskusi publik dalam memperingati Hari Kebebasan Pers Sedunia atau World Press Freedom Day 2023 ini digelar di ruang terbuka Bumi Kafe, Kota Jambi, Sabtu (13/5/2023) malam.
Para narasumber dalam diskusi publik ini, yaitu Suwandi (AJI Jambi), Dewi Yunita Widiarti (CEO Pundi Sumatra), Wenny Ira R (Akademisi UNH), dan Umi Syamsiatun (Direktur Eksekutif A-Hi).
Tidak hanya dihadiri para jurnalis dan orang-orang yang tergabung dalam lembaganya masing-masing, diskusi publik ini juga dihadiri para mahasiswa, Ismet Raja, seorang musisi yang turut menyuarakan kaum marginal, dan pihak lainnya.
Tak ketinggalan sejumlah kader dan perempuan Suku Anak Dalam (SAD) yang berasal dari Bungo dan Sarolangun turut hadir dalam diskusi publik tersebut. Diskusi ini diawali dengan pembukaan penampilan Ismet Raja Tengah Malam. Musisi indie yang sampai sekarang masih konsisten dengan lirik-lirik sosial dan menyuarakan keresahan orang-orang tertindas.
Ketua AJI Jambi Ahmad Riki Sufrian mengatakan, kemerdekaan pers menjadi suatu hal yang tidak bisa ditawar. Kemerdekaan pers menjadi salah satu kerangka pemenuhan hak asasi manusia.
Untuk mewujudkan kemerdekaan pers seutuhnya di daerah, menurut dia, perlu dilakukan kolaborasi antara semua pihak. Dia mengatakan tanpa kolaborasi, mustahil kita bisa mendorong kemerdekaan pers.
“Terimakasih kepada semua yang telah datang di acara hari kebebasan pers sedunia di Jambi, ini jadi awal yang baik untuk hasil-hasil yang baik,” kata Riki.
Riki mengatakan peringatan WPFD 2023 ini digelar secara maraton selama satu bulan di 25 kota tanah air. Kota-kota tersebut adalah Semarang, Kediri, Samarinda, Palu, Palembang, Mataram, Bandar Lampung, Ambon, Yogyakarta, Gorontalo, Medan, Ternate, Denpasar, Lhokseumawe, Jambi, Batam, Pontianak, Pekanbaru, Jember, Manado, Bengkulu, Mandar, Malang, Solo/Surakarta, dan Padang.
Melalui perayaan yang didukung oleh AJI Indonesia ini tujuannya untuk merealisasikan kebebasan berpendapat, berekspresi, kebebasan pers Indonesia. Kegiatan yang digelar mulai dari advokasi kebijakan, advokasi kasus, litigasi dan nonlitigasi, riset dan aksi, serta protes dan dialog.
Media Massa dan Jurnalis Seharusnya Jadi Harapan Kelompok Minoritas
Dalam diskusi ini disebutkan bahwa Jambi memiliki suku terasing yang dikenal dengan sebutan Suku Anak Dalam. Suku ini menjadi kaum yang sangat rentan dan termarjinalkan di Jambi. Selain tersingkir dari ruang hidupnya, SAD masih mendapatkan stigma dari masyarakat luar.
“Pundi Sumatra pertama kali kami masuk ke permukiman SAD tahun 2012, yang ditemukan itu masalah stigma. Masyarakat desa belum bisa menerima kehadiran mereka,” ujar CEO Pundi Sumatra, Dewi Yunita.
Suku Anak Dalam kata dia, hingga saat ini belum sepenuhnya mendapatkan pelayanan dan hak yang utuh sebagai warga Indonesia. Mereka masih sulit mendapatkan akses pendidikan. Padahal di tengah arus modernisasi dan tidak ada lagi hutan sebagai ruang hidup, mereka perlu keterampilan dan wawasan yang memadai.
“Bantuan yang diterima juga tidak berkelanjutan. Tidak membekali mereka untuk bertahan hidup. Sedangkan meraka bisanya berburu dan meramu makanan. Tidak punya kecakapan lain. Jadi makanya program kita membuat mereka mempunyai keterampilan,” kata Dewi.
Ia pun mengatakan belum banyak media massa dan jurnalis yang mempublikasi persoalan penting yang dihadapi SAD. Baru beberapa tahun terakhir ini Dewi melihat sejumlah media massa yang menyuarakan kaum termarjinalkan tersebut.
“Kenapa kaum media ini lebih cenderung berita-berita yang hot? Seperti kejadian terkait saudara kita SAD. Tapi hal baik tidak terekspos. Padahal perjuangan kita bagaimana mereka bisa diterima masyarakat luas. Banyak sekali perubahan yang baik. Akhirnya mungkin 3 tahun terakhir ini, sudah mulai ada kaum media yang menyuarakan,” ujarnya.
Diakui AJI Jambi, sejumlah media massa yang bertumbuh di Jambi justru banyak yang belum siap untuk bersetia pada prinsip-prinsip jurnalistik dalam mengabarkan isu-isu terpinggirkan yang melibatkan kelompok minoritas dan rentan.
Akibatnya, kelompok-kelompok marjinal semakin terdesak di ruang digital lantaran media daring malah bukan ruang yang aman bagi mereka.
Liputan isu terpinggirkan kurang mewakili suara-suara kelompok rentan. Media lebih cenderung memberi tempat bagi narasumber elit seperti para pejabat, aparat, dan tokoh yang mewakili kelompok mayoritas.
Dalam riset Remotivi, menyebutkan bahwa media cenderung menjadikan kelompok minoritas sebagai objek pemberitaan yang mengedepankan sensasi.
“Kelompok marjinal sendiri tidak mempunyai sumber daya untuk membayar media menuliskan mereka. Sehingga media menggunakan sensasi sedikit untuk mendulang pembaca,” kata Suwandi, salah satu narasumber dari AJI Jambi.
Selain itu, dalam upaya mendapatkan berita kaum termarjinalkan seperti SAD, para jurnalis masih terkendala minimnya dana. “Perlu effort dan dana yang tinggi untuk kita memberitakan Suku Anak Dalam,” tutur Suwandi.
Namun, bukan berarti tidak ada harapan. Kata Suwandi masih ada media massa yang terus menyuarakan SAD walau tidak banyak.
“Penting pula bagiamana jurnalisme di Jambi mempunyai perspektif masyarakat adat. Dengan acara yang kita buat ini, bisa menjadi sesuatu wawasan dan pencerahan untuk kita lebih terbuka untuk masyarakat adat,” tuturnya.
“Apalagi di tengah perubahan iklim. Tentu kondisi mereka (kelompok marginal) lebih rentan. Ini harus disadari oleh mereka pengambil kebijakan. Dampak buruknya adanya penyakit.”
Ia pun mengatakan jurnalisme warga perlu dikembangkan untuk masyarakat dapat menceritakan kelompoknya sendiri dengan perspektif yang sesuai.
Media dan Jurnalis Perlu Sensitivitas
Wenny Ira selaku akademisi dari Universitas Nurdin Hamzah, menyampaikan media massa dan para jurnalis memerlukan sensitivitas agar dapat menyuarakan kaum termarjinalkan dengan perspektif yang tidak menyudutkan. Kata Wenny, jangan sampai jurnalis menyelipkan opini seperti beberapa berita-berita yang ditemukannya.
“Barangkali yang perlu diketahui ialah masalah sensitivitas dalam menuliskan, memberitakannya. Tidak hanya sebatas menulis. Para jurnalis harus peka terhadap isu kesukuan, gender, difabel, dan kelompok marjinal,” katanya.
Ia pun tidak ingin ada pemberitaan lagi yang mendorong timbulnya stigma untuk Orang Rimba atau Suku Anak Dalam (SAD). Menurutnya, banyak pencapaian SAD yang bisa dipublikasikan di media massa.
“Media cenderung memberitakan kalau terjadi konflik terhadap kelompok minoritas, begitu juga pada Suku Anak Dalam. Bukan hanya konflik dan serimonial, ada banyak sekali,” tuturnya.
Sementara Direktur Eksekutif Perkumpulan Alam Hijau (A-Hi) Umi Syamsiatun menyampaikan penjaga hutan terakhir di Merangin, Jambi, pun perlu mendapatkan dukungan media massa. Kelompok tersebut saat ini sedang berjuang menjaga hutan yang sebenarnya menjadi bagian dari paru-paru dunia.
“Ada beberapa desa di Kecamatan Siau, Lembah Masurai, Pangkalan Jambu yang menjadi ruang kerja A-Hi. Mereka adalah warga desa yang secara legal dalam pengelolaan sumber daya alam berupa hutan, perhutanan sosial. Mereka menjaga dengan kearifan dan segala kemampuannya,” ungkapnya.
Walau belum bisa disebut kaum termarjinalkan, kata Umi, kelompok masyarakat itu cukup rentan. Akses jalan, fasilitas kesehatan, dan pendidikan yang didapatkan oleh mereka sangat minim.
“Dunia ini tidak terlepas dengan perubahan iklim. Sedangkan mereka menjaga sisa hutan yang menjadi paru-paru dunia. Tetapi paru-paru mereka tidak dibenahi, karena akses, fasilitas kesehatan mereka masih minim,” ungkap Umi.