Jon Afrizal*
Data adalah persoalan kita di sini, di Provinsi Jambi. Kebutuhan terhadap data, adalah hal yang mendesak untuk saat ini.
Seorang jurnalis, harus melengkapi tulisannya dengan data. Dan bukan melulu “katanya” dan “ujarnya” saja.
Perkembangan jurnalisme telah sangat pesat. Hingga saat ini, jurnalisme pun telah memiliki “anak ranting” yang bernama “jurnalisme data”.
Jika kita mengacu kepada trend perubahan, yakni Revolusi Industri 4.0, maka kita akan menemui istilah “Big Data” dan “Big Data Analytics”.
Ada banyak hal yang tidak bisa digambarkan dengan kisah-kisah yang penuh dengan teori “kalu dak salah” saja. Terutama terkait dengan jumlah, luasan, volume dan ukuran sejenisnya.
Seperti, jika kita bicara tentang “banyak”. Artian harfiah dari kata “banyak” adalah “lebih dari satu”.
“Jumlah sebenarnya berapa?” Itu pertanyaan yang timbul kemudian.
Semua itu sangat terkait dengan “Nalar” ketika seorang jurnalis memulai tulisannya. Atau, “lead berita”, haruslah mengacu kepada ilmu pengetahuan.
Dan, tentunya, ilmu pengetahuan selalu berlandaskan kepada hal yang “masuk akal”. Sebab, tentu saja, manusia menganalogikan sesuatu dengan menggunakan otak.
Terkecuali untuk beberapa hal yang bersifat gaib, mistik atau magis, tentunya.
Seorang jurnalis tidak bertugas untuk mencari kesalahan orang lain; baik itu perseorangan ataupun lembaga kedinasan. Namun, faktanya, kesulitan untuk mendapatkan data kerap dirasakan para jurnalis.
Ada dua kemungkinan di sini. Pertama, data memang kurang lengkap atau tidak diperbarui. Kedua, data sengaja ditutup-tutupi untuk alasan tertentu.
Persoalan ini mem-blunder seiring kebutuhan banyak orang akan data. Baik itu perseorangan maupun lembaga.
Pihak Badan Pusat Statistik (BPS) sendiri adalah acuan umum bagi banyak orang. Beberapa tahun yang lalu, BPS akan secara berkala untuk mengadakan pers rilis.
Namun, banyak pihak yang “kebakaran jenggot”. Sebab setelah pers rilis itu, kemudian para wartawan menulis berita yang “dianggap merugikan” oleh instansi pemerintah setempat.
“Koq kami tidak dikasih tau?” demikian ujar seorang pejabat instansi pemerintah sewaktu itu.
Kini, pers rilis tetap diadakan. Meskipun dengan proporsi lebih banyak pihak instansi pemerintah setempat dibandingkan dengan wartawannya.
Sehingga, secara nalar, namanya pun harus diubah. Bukannya pers rilis lagi, melainkan instansi rilis. Ups.
Ada banyak pihak yang selalu mengacu kepada data, dan bukan hanya jurnalis saja. Para investor, misalnya, tentu ingin mengetahui potensi sesuatu “barang” yang bernilai ekonomi di sini.
Atau, jika pihak asing ingin memberikan hibah, misalnya, mereka pun mengacu kepada data. Data, sehingga, adalah standarisasi kegiatan apapun.
Sebelumnya, di awal tahun 2000, semua pihak kelimpungan, karena ada hitungan komputerisasi tersendiri, dimana ketika terjadi perubahan tahun yang “00” itu maka data akan kembali menjadi “00” juga. Terutama dunia ekonomi, menyebutnya dengan istilah “Y2K Bugs”.
Kini, “crash” itu diperkirakan banyak computer scientist akan datang lagi. Meskipun tidak serumit pada tahun 2000 lalu.
Namun, persoalan utama kita adalah semua orang memiliki smartphone, dan segala sesuatunya sangat terkait dengan smartphone. Mulai dari menelpon rekan hingga ke transfer tagihan listrik.
Sejauh ini, dunia tengah “perang data”. Siapa pun yang menguasai data, akan juga menguasai dunia.
Semua orang, kini, bicara soal kolektifasi data melalui berbagai platform media dan aplikasi di smartphone. Nyatanya, kita semua masih sibuk mendata dengan menuliskannya di buku, seperti buku induk siswa di tahun ’80-an lalu.
Suatu saat, bisa saja buku itu akan hilang atau rusak dimakan rayap. Dan, hilang juga data yang ditulis itu. Oh, how poor we are! *
* Jurnalis TheJakartaPost