“Kondisi ini sangat ironis, disaat perusahaan memiliki area konsesi yang mencapai ratusan ribu hektare. Namun, masyarakat petani harus tertindas di ladangnya sendiri.”
Abdul Halim terheran ketika melihat benda terbang di atas ladang yang sedang ia garap. Maklum, sebagai petani yang tinggal di Desa Lubuk Mandarsah, Kabupaten Tebo, Jambi, ia masih awam dengan benda yang belum pernah ditengoknya.
Sebagai petani yang lebih sering menengok cangkul, saat itu pandangannya menjadi berpaling. Dia terus mendongakan kepalanya melihat benda terbang itu. Beberapa saat kemudian, anggota kelompok tani Sekato Jayo tersebut baru mengetahui ternyata benda yang terbang di atasnya itu adalah pesawat nirawak (drone).
Pesawat nirawak terus meliuk-liuk di atas ladangnya. Ternyata tanda disadari, pesawat nirawak itu dikendalikan untuk menebar racun pestisida. Dia dan beberapa kawannya yang sama-sama di lokasi pun kaget bukan kepalang.
“Waktu itu kami hanya menengok dan bertanya-tanya itu apa? kami awam. Kami kaget ternyata itu ada racun yang disemprotkan lewat benda terbang tadi,” kata Abdul Halim menceritakan kronologi penebaran racun yang dilakukan PT Wira Karya Sakti (APP Sinar Mas Group).
Dalam konferensi pers yang digelar Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jambi melalui saluran video Kamis (4/6/2020), Abdul Halim mengatakan, peristiwa penebaran racun itu dilakukan oleh perusahaan, kelompok usaha APP Sinar Mas. Penaburan racun saat itu dilakukan Rabu pagi 4 Maret 2020.
Perbuatan yang dilakukan PT WKS, pemasok bahan baku bubur kertas itu mengakibatkan 2 hektare tanaman pangan masyarakat mati. Petani dari kelompok Sekato Jayo terpaksa kehilangan sumber pangan dan mengalami kerugian jutaan rupiah.
“Saya tidak tahu imbas penyemprotan itu menjangkau tanaman kami, sekitar 90-100 batang sawit kami mati,” ujar Abdul. “Arah angin ke barat, di situ ada yang nanam sayuran. Setelah itu cabainya keriting. Tanaman semangka seperempat hektare mati, dan lebah sialang kedondong jarang datang.”
Masyarakat di Desa Lubuk Mandarsah, kata Abdul Halim, punya hak mengelola tanah adat Desa Lubuk Mandarsah seluas 1.500 hektare. Namun tanah yang menjadi hak masyarakat itu diklaim oleh perusahasn konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) PT WKS.
Di lahan adat itu, masyarakat mengaku tak melulu menanam sawit. Mereka, juga menyisihkan tanah untuk ditanami tanaman pangan dan palawija. Tanaman pangan produktif yang mereka tanam antara lain seperti cabai, semangka, jengkol, dan karet.
“Dari 1.500 hektare itu yang sudah digarap sekitar 700 hektare,” kata Ahmad, anggota kelompok tani Sekato Jaya lainnya.
Ditengah Pandemi, Masyarakat Kehilangan Pangan
Wabah Pandemi Corona Virus Disease (Covid-19) telah membawa dunia pada potensi krisis pangan. Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) mengeluarkan imbauan kepada seluruh negara untuk berhati-hati menghadapi pandemi ini.
FAO memprediksi pada Mei 2020 pemenuhan pangan dunia akan mulai mengalami gangguan supplychain (FAO, April 2020).
Disaat semua pihak bahu membahu menghadapi potensi krisis pangan ini, justru perusahaan mengkriminalisasi kelompok tani. Tindakan penebaran racun ditanaman petani mendapat respon dan kecaman keras dari kalangan koalisi masyarakat sipil.
Masyarakat tani yang punya inisiatif untuk kehidupan pangan dengan menanam sendiri mendapat kriminalisasi oleh perusahaan. Sebelum peristiwa penabaran racun pestisida itu, petani kerap mendapat ancaman dan intimidasi. Menurut pengakuan masyarakat, mereka kerap didatangi oknum pengamanan perusahaan.
“Di tengah pandemi dan situasi sekarang ini (krisis pangan), petani juga punya peran penting, tapi keberadaan petani justru mendapat tindakan yang sewenang-wenang,” ujar Fran Dodi dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Wilayah Jambi dalam kesempatan yang sama.
Harapan kelompok tani untuk memanen hasil pupus sudah. Tanaman cabai yang mereka tanam langsung keriting daunnya, dan buahnya busuk. Kemudian tanaman semangka juga gagal panen.
Begitu pula niat untuk memasok hasil panen ke desa tetangga terdekat juga pupus. Desa Lubuk Mandrasah, sebelumnya dikenal sebagai pemasok pertanian bagi warga desa di sekitarnya.
“Sebelum Sinar Mas masuk, Desa Lubuk Mandrasah itu dikenal sebagai lumbung pangan,” kata Fran Dodi yang turut mendampingi masyarakat yang sedang berkonflik itu.
Tidak cukup sampai disitu, diwaktu hampir bersamaan perusahaan yang selalu mengklaim sebagai perusahaan yang menghormati hak-hak masyarakat ini, juga melaporkan masyarakat ke kepolisian atas tuduhan pengrusakan hutan.
Konflik Panjang Tak Kunjung Selesai
Konflik antara PT WKS dan Poktan Sekato Jayo ini sudah terjadi cukup lama. Berdasarkan catatan KPA Wilayah Jambi konflik ini terjadi dari tahun 2006. Namun hingga berjalan belasan tahun belum ada penyelesaian dan kepastian yang didapatkan petani.
Menurut Dodi, tindakan brutal perusahaan bukan terjadi pada saat pandemi saja, melainkan pada tahun 2015 juga terjadi peristiwa penculikan petani bernama Indra Pelani.
Kawan mereka dibunuh oleh sekelompok sekuriti PT WKS dan jasadnya ditemukan dalam kondisi penuh luka tusuk dan pukulan benda tumpul sejauh lebih kurang 8 KM dari pusat desa.
Dalam proses yang terjadi sampai hari ini lanjut Dodi, pemerintah terkesan telah “memfasilitasi” kejahatan yang dilakukan perusahaan. Perusahaan juga telah melanggar komitmen yang “katanya” tidak akan menggangu kehidupan petani pascaterjadinya peristiwa kematian Indra Pelani itu.
“Setelah peristiwa Indra Pelani itu muncul kesepakatan perusahaan tidak akan menggangu, tapi ternyata terjadi lagi tahun 2020, masih terjadi proses intimidasi,” ujar Dodi. “Ada kejahatan yang dilakukan oleh Sinar Mas Group, dan ini juga terjadi di daerah lain, ini cara cara lama perusahaan.”
“Kembalikan lahan petani seluas 1.500 hektare, inilah objeknya reforma agraria. Dan ini yang harus diutamakan,” sambung Dodi.
“Keserius perusahaan untuk menyelesikan konflik sosial itu tidak berjalan di lapangan. Kami meminta Pemerintah untuk segerah menyelesaikan konflik yang kami alami,” timpal Andryan, anggota kelompok tani lainnya.
90 NGO Surati Investor dan Pembeli APP Sinar Mas
Terkait tindakan tindakan sewang-wenang yang dilakukan kelompok usaha APP Sinar Mas tersebut, langsung mendapat respon dair organisasi masyarakat sipil. Sebanyak 90 NGI di Indonesia dan Internasiolan menyurati investor dan pembeli APP di Eropa dan Amerika Serikat.
Surat tersebut dapat dilihat melalui tautan ini: 90 NGO Indonesia dan Internasional menyurati investor dan pembeli APP terkait tindakan peracunan kebun masyarakat Desa Lubuk Mandarsah, Jambi.
Surat itu meminta para investor dan buyers tersebut untuk menunda bisnis mereka dengan APP dan afiliasinya sampai perusahaan tersebut terbukti dan terverifikasi membuat perubahan secara radikal dan nyata di lapangan.
Rudiansyah, Direktur WALHI Jambi mengatakan, kejadian ini membuat warga marah dan respon keras masyarakat sipil, apalagi ini bukan kali pertama PT WKS melakukan kekerasan kepada masyarakat Desa Lubuk Mandarsah. Pada tahun 2015 yang lalu, sekelompok sekuriti PT WKS terlibat dalam hak asasi manusia, pejuang tani, Indra Pelani meninggal dunia.
Perilaku perusahaan tidak hanya salah, tapi juga berbahaya dan akan meningkatkan eskalasi konflik. Apalagi konflik terkait APP ini menurut studi oleh EPN dan koalisi NGO Indonesia, ada 107 konflik aktif dengan masyarakat sekitar konsesi dan pemasoknya, dan diperkirakan mencakup lahan seluas 350.000 hektar.
“Kami ingin menegaskan agar para pihak yang selama ini, atau berencana untuk berbisnis dengan APP untuk menunda terlebih dahulu sampai perusahaan ini terbukti memenuhi janjinya sebagaimana mereka janjikan dalam Forest Conservation Policy 2013 untuk menghormati hak-hak masyarakat dan menyelesaikan konflik secara bertanggung jawab,” tegas Rudi.
Mereka juga juga mendesak kepada pemerintah untuk lebih aktif lagi untuk melakukan pengawasan dan terlibat langsung dalam fasilitasi konflik antara HTI dan masyarakat, agar kekerasan oleh perusahaan tidak kembali terulang di kemudian hari.
Respon WKS
Pascaperistiwa tersebut PT WKS langsung merespon terkait penebaran racun di lahan kelompok tani Sekato Jayo. PT WKS menyebutnya sebagai Insiden Pre-Planting Spraying.
Berdasarkan rilis yang disampaikan Taufik Qurochman selaku
Public Relatioan Head PT WKS menyebut, perusahaan telah dan senantiasa berupaya mengedepankan dialog untuk mencapai kesepahaman dengan pihak-pihak terkait serta menjunjung tinggi seluruh hukum dan perundang-undangan yang berlaku.
Sedangkan ihwal penyemprotan herbisida di area tersebut sebagaimana diberitakan oleh sejumlah media, proses ini adalah kegiatan Pre-Planting Spraying (PPS) untuk menyiapkan lahan hutan tanaman industri (HTI) di wilayah konsesi perusahaan.
“Kami sadar bahwa metode tersebut adalah metode baru, menggunakan teknologi drone. Namun Kami tetap mengedepankan Standard Operating Procedure (SOP) yang mengutamakan keamanan dan keakuratan penyemprotan tersebut,” kata Taufik melalui keterangan tertulisnya. Kilasjambi.com menerima keterangan tertulis itu.
Taufik mengatakan, areal yang menjadi target penyemptotan juga merupakan areal kawasan HTI yang saat ini merupakan areal bekas tebangan, bukan di areal kebun masyarakat yang sudah eksis.
“Kegiatan PPS yang kami jalankan pada tanggal 9 April 2020 tersebut, telah mengikuti prosedur yang berlaku.”
“Kami menyayangkan penolakan yang dilayangkan oleh STT dan oleh karena itu, sebagai langkah terakhir, kami juga telah menerima dan memenuhi undangan dari pihak kepolisian untuk proses mediasi pada hari Rabu, 15 April 2020,” kata dia.
Sejalan dengan semangat dialog yang mereka junjung, perusahaan pun telah berdiskusi dengan kepala desa dan tokoh masyarakat setempat terkait hal ini. Dalam mediasi yang sudah kami lakukan, tidak disebutkan adanya kerugian yang timbul maupun tuntutan kompensasi ganti rugi apapun.
“Dalam operasionalnya, PT WKS berkomitmen untuk mematuhi hukum negara Republik Indonesia serta prinsip-prinsip internasional yang berlaku terkait penghormatan hak-hak masyarakat lokal, serta terus berkoordinasi dan bekerjasama dengan seluruh stakeholder terkait di dalam koridor hukum yang berlaku,” demikian Taufik.