KILAS JAMBI – Kala memerankan tokoh Kadam dalam ceritera Abdul Muluk: Kerajaan Barbari, Zidan mengatakan teringat dengan nama besar masa lalu, Arifin Ahmad. Dia adalah pendiri dan perintis teater modern di Jambi.
Penasaran, kilasjambi.com mengulik lebih dalam, sebab musabab nama Arifin Ahmad begitu populer di kalangan pelaku teater Jambi. Zidan mengaku berguru dengan Arifin saat Merah Putih sedang menikmati masa kejayaan. Namun dia memberi sinyal ada sederet nama tokoh-tokoh teater Jambi yang juga pernah bersama-sama merintis teater modern di bawah bendera teater Merah Putih.
Pada tahun 1982, Arifin Ahmad dan isteri Siti Rohani atau lebih dikenal Anik Sudaryo menyambangi Jambi untuk pentas teater di Taman Budaya. Kala itu, keduanya baru saja menamatkan kuliah di Akademi Seni Drama dan Film (Asdrafi) Yogyakarta. Sambutan penonton yang hangat, maka keduanya melakukan pentas keliling ke beberapa daerah.
Lima tahun setelah itu, Arifin Ahmad dan isteri benar-benar hijrah ke Jambi setelah menimba ilmu dan menaklukkan Jakarta. Tepatnya pada tahun 1987, bersama anak-anak muda Jambi mendirikan kelompok teater Merah Putih.
Dalam perjalanannya melahirkan tokoh-tokoh teater Jambi seperti Eri Argawan, EM Yogiswara dan Suardiman Malay. Merah Putih membawa visi menjadikan teater hidup dan berkehidupan di Jambi. Meskipun saat ini, Merah Putih tinggal nama, karena Arifin Ahmad dan Anik telah kembali kepangkuan Ilahi.
Beberapa pentolan tetap eksis mendirikan sanggar. Eri Argawan mendirikan Sekintang Dayo bersama EM Yogiswara dan Bujang Uwa. Bertolak dari sini, EM Yogiswara bersama Bujang Uwa mendirikan Teater Art in Revolt (AiR). Setelah AiR dikenal publik luas, Bujang Uwa mendirikan teater Ananda Sekato.
Nama besar AiR mengalahkan ibunya, Merah Putih. Dia melahirkan banyak penggiat teater seperti Didi Hariadi yang kini mendirikan Rumah Budaya Melayu, kemudian Zidan mengangkat batang terendam; teater tradisi Abdul Muluk. Selanjutnya Wendy SWD mendirikan teater kampus, Sialang Rayo. Begitu juga Sean Popo Hardi merintis Teater Kuju.
Anak cucu dari teater Merah Putih masih eksis sampai sekarang. Bahkan menjadi pentolan di kelompok teaternya masing-masing. Merah Putih sangat mempengaruhi perkembangan teater di Jambi selama 36 tahun.
Eri Argawan, salah satu pendiri Sanggar Seni Sekintang Dayo menuturkan denyut nadi Merah Putih terletak pada maha guru Arifin dan Anik. Dia bersama EM Yogiswara (pendiri teater AiR) belajar ilmu panggung, keaktoran dan artistik kepada kedua orang ini.
“Bang Ifin sangat keras. Kalau mbak Anik lembut. Saya dapat ilmu teater dari keduanya,” kata Eri Argawan di sela-sela latihan drama tari di Taman Budaya Jambi, beberapa waktu lalu.
Bersama Merah Putih, Eri memainkan naskah pertama berjudul Puti Lindung Emas, karya Zurhatmi Ismail. Pertunjukkan ini dipersiapkan untuk temu teater Indonedia di Jakarta.
“Saat pertama didirikan belum ada nama Merah Putih. Setelah eksis mentas teater baru dibentuk sanggar dan nama,” kata Eri yang sehari-hari menjadi ASN di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jambi.
Menurut Eri, Merah Putih tidak pernah bubar secara resmi. Melainkan dengan tingginya aktivitas para anggota dengan sanggar masing-masing, maka pertunjukan dengan nama Merah Putih menjadi berkurang. Ditambah kesehatan Arifin Ahmad yang sakit-sakitan. Setelah meninggal dunia, tak ada dari pihak keluarga yang meneruskan.
“Walaupun tidak dengan nama Merah Putih. Darah kami tetap Merah Putih sampai sekarang,” kata Eri Argawan menegaskan.
Ada ratusan naskah yang telah dipentaskan. Namun yang ingat di kepala dan amat fenomenal antara lain; naskah Kebebasan Abadi, Gajah Mada, Dara Petak Dara Jingga, Was Was, Antigone, Tkut, Raden Mataher, dan Bila Malam Semakin Malam.
Merah Putih Menganak Cucu
Salah satu dari pentolan Abdul Muluk Reborn (AMR), Zidan membenarkan bahwa Merah Putih adalah ibu teater modern di Jambi. Apabila ditarik benang merahnya, kelompok AMR adalah cucu dari Merah Putih.
“Waktu SMP pernah main bersama Merah Putih. Saya sempat berguru dengan suhu Arifin Ahmad,” kata Zidan yang dikenal luas sebagai komedian Jambi dan bintang film ini.
Selanjutnya, Bujang Uwa pendiri Teater Ananda Sekato menuturkan pernah berguru bersama Arifin Ahmad di Merah Putih dengan Didi Hariadi dan Husni Thamrin. Kemunculan garapan Arifin Ahmad memang menjadi titik tolak kemajuan teater di Jambi. Sehingga banyak melahirkan aktor dan kru panggung yang kini bergabung dengan komunitas skala nasional di Jakarta dan Yogyakarta.
Bagi Arifin, tambah Bujang Uwa, kesuksesan dari pertunjukan teater bukan diukur dari tepuk tangan penonton, melainkan proses latihan yang menimbulkan militansi kekeluargaan.
“Pesan beliau (Arifin Ahmad) adalah jangan pernah meninggalkan teater, walaupun semua orang tidak mendukung. Pasti ada jalan,” kata Bujang.
Arifin Ahmad sangat disiplin saat melakukan proses garapan pertunjukkan. Bujang mengaku pernah gagal mendapatkan peran, karena terlambat sekitar 10 menit. Dia juga pernah dihukum membersihkan panggung selama tujuh hari berturut-turut karena lupa dialog saat latihan.
Disiplin memang kunci utama untuk profesional di dunia panggung. Selain harus mampu bekerja sama di atas panggung dengan banyak orang. Selain sebagai aktor, Bujang mengaku kerap terlibat sebagai penanggung jawab artistik panggung dalam pementasan. Ilmu artistik diperoleh Bujang dari berproses bersama Merah Putih.
Sementara itu, Fauzi Zubir menyebutkan selain terkenal sebagai sutradara dan penata artistik handal, Arifin beberapa kali ikut pameran seni rupa. Bahkan lukisan Arifin Ahmad pernah dikoleksi Gubernur Jambi, zamannya Abdurahman Sayoeti.
“Dia (Arifin Ahmad) juga dikenal luas sebagai pelukis. Terlibat pameran bersama Sanggar Tanah Pilih. Termasuk perupa yang memiliki karakter kuat,” sebut Fauzi Zubir. (wendy)