KILAS JAMBI – Gajah merupakan mamalia darat terbesar yang ada di dunia. Sayangnya, dewasa ini populasi gajah semakin menurun tiap tahunnya. Padahal, gajah merupakan mamalia yang cerdas dan cinta damai.
Hari Gajah Sedunia (World Elephant Day) ditetapkan oleh PBB sejak tanggal 12 Agustus 2012 untuk dirayakan setiap tahunnya. Tujuan ditetapkannya Hari Gajah Sedunia adalah untuk memberi tahu dunia bahwa kelangsungan hidup gajah, terutama di daerah Asia dan Afrika, sudah terancam punah. Dengan adanya Hari Gajah Sedunia, diharapkan kepedulian masyarakat terhadap hidup gajah semakin meningkat.
Populasi Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatrensis) yang tinggal di dataran rendah, terutama di lokasi yang berdekatan dengan sungai, semakin sedikit.
Di Sumatera, Gajah dipanggil Datuk Gedang. Disebut ‘Datuk’ karena menurut penuturan sesepuh terdahulu, gajah adalah jenis binatang yang mempunyai adat mirip dengan manusia. Mereka tidak akan menggangu, jika tidak mengusik. Mereka juga sudah lebih dahulu menjadi penguasa lahan yang saat ini sedang mereka perjuangkan. Hal tersebut membuat para orangtua terdahulu memanggil mereka dengan sebutan “Datuk”. Hingga panggilan tersebut, turun temurun sampai sekarang ini.
Saat ini hanya tersisa 2.400 hingga 2.800 individu Gajah Sumatera di alam. Kehidupan mereka terancam oleh perburuan, deforestasi, dan hilangnya habitat, serta konflik dengan manusia.
Sebagai mamalia besar yang harus dilestarikan keberadaannya, pemerintah, swasta dan masyarakat berperan dalam melindungi keberadaan gajah. Khususnya di Provinsi Jambi. Lansekap Bukit Tiga Puluh merupakan kantung populasi gajah tebesar di Sumatera Bagian Tengah yang menampung sekitar lebih kurang 120 gajah.
Pertengahan Juli 2019 yang lalu, seekor gajah betina yang diberi nama Karina (berusia lebih kurang 50 tahun) mati dalam proses translokasi dari lansekap Bukit Tiga Puluh di Kabupaten Tebo ke wilayah Hutan Harapan, Batanghari. Laporan dari Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jambi menyebutkan jika Karina mati akibat stres saat dilakukan upaya penyelamatan itu.
Berbagai faktor memengaruhi tingkat populasi gajah. Seperti pada kasus Karina, gajah betina ini disebut sudah sangat lama tidak hidup berkelompok dengan gajah lain. Karina hidup menyendiri selama kurang lebih 10 tahun. Semakin berkurangnya populasi gajah bisa jadi alasan Karina harus menjadi gajah soliter selama bertahun-tahun.
Konflik dengan manusia juga menjadi ancaman besar bagi keberadaan mamalia besar ini. Tercatat pada 2018 di Jambi terdapat 286 kasus konflik gajah dan manusia. BKSDA Jambi bersama berbagai pihak mengupayakan wilayah habitat dan jelajah gajah jadi kawasan ekosistem esensial. Di lansekap Bukit Tiga Puluh sebagian besar wilayah jelajah gajah merupakan kawasan hutan produksi. Di sana terdapat sejumlah perusahaan yang memegang izin konsesi. Sehingga peran swasta sangat krusial dalam upaya menyelamatkan populasi gajah yang tersisa.
Semakin sempitnya luas jelajah gajah terkadang memaksa mamalia besar ini harus berjalan cukup jauh untuk mencari asupan makanan dan minuman. Beberapa waktu lalu diketahui ada tiga ekor gajah Sumatera yang mendekati pemukiman penduduk di wilayah Batanghari, Jambi.
BKSDA menyebutkan, gajah yang keluar dari kelompoknya untuk mencari sumber air.
Gajah merupakan satwa yang sangat bergantung pada air. Seekor gajah Sumatra membutuhkan air minum sebanyak 20-50 liter per hari dan mampu mengisap 9 liter air dalam satu kali isap.
Menurut Kepala BKSDA Jambi Rahmad Saleh, Gajah merupakan hewan penjelajah, ia mampu menjelajah hingga 7 kilometer semalam. Bahkan saat musim kering atau musim buah-buahan di hutan, daya jelajahnya mencapai 15 kilometer per hari. Maka tak jarang gajah berpapasan dengan manusia saat mencari air atau makanan. Konflik kadang harus terjadi saat gajah masuk ladang warga ataupun sebaliknya.
Lanskap Bukit Tiga Puluh di Kabupaten Tebo merupakan kantung populasi gajah di Sumatera Bagian Tengah. Lanskap ini menampung lebih kurang 120 ekor gajah. Taman Nasional Bukit Tiga Puluh (TNBT) merupakan wilayah taman nasional yang berada di area ini. Berbatasan dengan pemukiman, dan perusahaan perkebunan, maupun perkebunan rakyat.
Rahmad Saleh menyebutkan, saat ini gajah-gajah mulai terdesak di penyangga Bukit Tiga Puluh. Hal ini karena dalam kurun waktu 3 sampai 5 tahun terakhir banyak masyarakat yang datang ke kawasan yang sebelumnya menjadi habitat gajah liar.
Warga pendatang, kata Rahmad Saleh memasuki wilayah konsesi sehingga menggangu habitat gajah. “Itu kan kawasan konsesi, jadi mereka memasuki kawasan itu,” kata Rahmad.
Akibat terdesak dengan aktifitas manusia, kehidupan gajah di kawasan ini mulai mengalami anomali habituasi. Dimana gajah sudah tidak takut lagi dengan suara meriam karena sudah terlalu sering diusir oleh masyarakat dengan suara meriam.
Selain itu, saat ini kawanan gajah mulai kesulitan untuk memenuhi kebutuhan makanan. Setiap hari, gajah membutuhkan makanan 10 persen dari berat badannya. Terutama air.
“Tapi mulai bulan lima (Mei) kan musim kering di hulu. Jadi dia ke hilir, ke wilayah aliran sungai untuk mencari air,” kata Rahmad.
Dengan keadaan ini, kawanan gajah mau tidak mau keluar dari habitat aslinya. Dan tidak jarang ini memicu konflik dengan manusia. Selama 2018 saja, terjadi sekitar 286 konflik.
Untuk menanggulangi hal itu, BKSDA akan menggiring kemampuan masyarakat agar mandiri dalam penangananan konflik. “Kemarin sudah kita bentuk, tapi belum dilatih. Mungkin September ini kita latih,” kata dia.
Selain itu, pihak BKSDA berencana untuk mengembangkan kawasan ekowisata minat khusus. “Seperti melihat atraksi satwa liar,” kata Rahmad.
Dari pihak swasta, kata Rahmad, pada dasarnya perusahaan sudah ikut melakukan upaya pelestarian gajah. Tapi karena setiap perusahaan bergerak sendiri-sendiri jadi tidak terlalu terlihat.
“Seperti LAJ (Lestari Asri Jaya) sudah mengalokasikan arealnya kurang lebih 10 ribu hektare untuk konservasi,” kata Rahmad.
Sekarang, lanjutnya, harus dipisahkan antara kepentingan untuk habitat gajah dan kepentingan manusia. “Jangan saling mengganggu,” kata dia.
BKSDA, kata dia, akan menyatukan semua stake holder, Pemerintah, masyarakat dan pihak swasta. Penyatuan itu dalam bentuk Kawasan Ekosesistem Esensial (KEE).
”Sekarang kita lagi susun masterplannya,” katanya.
Dalam upaya pelestarian lingkungan dan satwa, pihak PT Lestari Asri Jaya (LAJ) membentuk Wildlife Conservation Area (WCA) yang terletak di area konsesinya. WCA ini merupakan inisiatif LAJ bersama WWF untuk perlindungan jangka panjang Gajah Sumatera.
Upaya yang dilakukan adalah dengan mengubah 9.700 hektare area terdegradasi menjadi area konservasi dan produksi. Kemudian, PT Lestari Asri Jaya juga bekerjasama dengan Balai TNBT untuk memperkuat kawasan penyangga TNBT melalui kegiatan perlindungan kawasan, pengawetan flora dan fauna, restorasi ekosistem dan pemberdayaan masyarakat. Dalam pengembangan KEE oleh BKSDA Jambi, WCA termasuk di dalamnya. (*)