Masyarakat Adat dan Organisasi Masyarakat Sipil Ajukan Permohonan Pengujian Formil Terkait JR UU KSDAHE ke MK

Masyarakat Adat dan Tiga Organisasi Masyarakat Sipil Ajukan Permohonan Pengujian Formil Terkait JR UU KSDAHE ke MK, foto: ist

KILAS JAMBI – Perwakilan komunitas Masyarakat Adat dan organisasi masyarakat sipil mengajukan Pengujian Formil ke Mahkamah Konstitusi atas terbitnya Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU KSDAHE 32/2024) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, pada 19 September 2024.

Permohonan ini didaftarkan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) dan perwakilan Masyarakat Adat Ngkiong, Mikael Ane atas dukungan Koalisi untuk Konservasi Berkeadilan.

Pengujian formil ini dilakukan karena ada persoalan dalam konteks penyusunan UU 32/2024 yang tidak memenuhi ketentuan UUD 1945, UU 13/2022 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 91/PUU-XVIII/2020.

Setidaknya ada tiga alasan yang diajukan oleh para pemohon. Pertama karena tidak memenuhi asas kejelasan tujuan, tidak memenuhi asas kedayagunaan dan kehasilgunaan, serta tidak memenuhi asas keterbukaan.

Menurut Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rukka Sombolinggi, UU KSDAHE No. 32/2024 yang baru ini merupakan salah satu UU yang secara formil dibentuk tanpa partisipasi penuh dan efektif dari Masyarakat Adat sebagai kelompok masyarakat yang terdampak langsung dari UU  tersebut.

“Selain itu secara substansi UU ini menegasikan keberadaan Masyarakat Adat sebagai subjek dalam penyelenggaraan konservasi, bahkan berpotensi kuat merampas wilayah adat dan kriminalisasi Masyarakat Adat melalui perluasan preservasi,” ujar Rukka Sombolinggi..

Sementara itu, menurut Manajer Kajian Kebijakan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Satrio Manggala, UU 32/2024 secara formil tidak sesuai dengan sejumlah asas pembentukan peraturan perundang-undangan dalam ketentuan UUD 1945.

Asas keterbukaan dinilai berkaitan erat dengan proses partisipasi yang bermakna. Tanpa keterbukaan, maka tidak partisipasi yang bermakna. “WALHI telah menyampaikan catatan krusial dalam rumusan perubahan UU KSDAHE pada tanggal 25 Juni 2024 di Gedung DPR RI dan hingga hari ini tidak mendapatkan alasan dan kejelasan kenapa masukan-masukan kami tidak diakomodir dan tidak direspon,” ujar Satrio Manggala.

UU 32/2024 tidak mempertimbangkan subjek hukum

Pada konsideran UU 32/2024 tidak mempertimbangkan subjek hukum yaitu Masyarakat Adat yang ada dan hidup di wilayah konservasi jauh sebelum UU 32/2024 ada, bahkan jauh sebelum negara NKRI terbentuk. Cara dan pola hidup Masyarakat Adat di dalam satu wilayah dinilai telah melakukan pengelolaan dan pemanfaatkan secara lestari, selaras, serasi, seimbang, dan juga menjaga kelestariannya.

“Artinya, pembentuk UU 32/2024 tidak melibatkan pihak yang terdampak, serta pihak yang concern (mempunyai perhatian dan peduli) terhadap urusan sumber daya alam hayati Indonesia dan ekosistemnya,” sambung Rukka.

Senada dengan hal tersebut, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Sekjen KIARA), Susan Herawati menyebutkan bahwa dengan tidak adanya partisipasi yang bermakna dari masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil, berpengaruh terhadap tidak diakomodirnya pengetahuan, budaya dan kearifan lokal masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil dalam mengelola dan melakukan konservasi berbasis masyarakat secara mandiri.

“UU KSDAHE ini juga secara jelas bertentangan dengan hak konstitusional nelayan dan masyarakat pesisir sebagaimana tercantum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3 Tahun 2010 yang menegaskan hak untuk mengakses laut, hak untuk mengelola sumber daya kelautan dan perikanan sesuai budaya dan tradisi masyarakat, dan hak untuk mendapatkan manfaat dari pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan,” jelas Susan Herawati.

Pembentukan UU 32/2024 Tidak Memenuhi Asas Kedayagunaan dan Kehasilgunaan terutama bagi Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal sebagai subjek hukum. Ini ditandai dengan beberapa permasalahan substantif yang akan muncul dan dialami Masyarakat Adat atau komunitas lokal yang hidup di dalam dan disekitar kawasan konservasi. Misalnya lebih banyak celah terjadinya potensi kriminalisasi, perampasan hak, diskriminasi, dan pengabaian terhadap hak-hak Masyarakat Adat dan komunitas lokal.

Sorotan lain dari para pemohon adalah dalam UU 32/2024 tidak adanya pasal yang mengatur mengenai Padiatapa (Persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan) atau yang dikenal dengan FPIC (Free, Prior, Informed Consent). Padahal FPIC adalah hal yang sangat penting dan dan fundamental dari hak Masyarakat Adat untuk menyatakan setuju atau tidak setuju terhadap segala sesuatu yang menyangkut wilayah adatnya tanpa paksaan.

Akibat dari hal ini berpotensi memperluas perampasan tanah dan re-settlement Masyarakat Adat dari wilayah kelola/adat yang ditetapkan. Pembentukan  UU 32/2024 mengabaikan kewajiban negara bidang Hak Asasi Manusia (HAM) yaitu menghormati (to respect), melindungi (to protect), dan memenuhi (to fulfill) hak hak-hak Masyarakat Adat sebagaimana diatur dalam UUD 1945, UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM, dan peraturan perundang-undangan lainnya.

Pembentukan UU 32/2024 Tidak Memenuhi Asas Keterbukaan

Sebagai pihak yang perhatian dan peduli mengawal Proses Pembentukan UU 32/2024, para pemohon tidak bisa mendapatkan akses dokumen hasil rapat atau atau proses pembahasan UU 32/2024 dan tidak ditemukan melalui website DPR.

DPR dan pemerintah seharusnya melibatkan Masyarakat Adat dan lokal, serta organisasi masyarakat sipil sebagaimana amanat UU No. 12 Tahun 2011 untuk duduk bersama melakukan musyawarah untuk merumuskan ketentuan-ketentuan di dalam UU 32/2024. Keterlibatan tersebut agar undang-undang yang dibuat dapat berguna untuk meningkatkan efektivitas kegiatan konservasi sekaligus dapat menggapai keadilan sosial dan ekologis yang memberikan manfaat bagi masyarakat dan lingkungan hidup.

Para pemohon melalui koalisinya juga telah dilakukan dengan mengirimkan surat kepada Presiden, Ketua DPR, dan Ketua DPD terkait penolakan pengesahan UU KSDAHE. Namun, tidak mendapatkan respon sama sekali. Hal ini menunjukan dan memperjelas bagaimana pembentuk UU menempatkan Masyarakat Adat dan komunitas lokal sebagai sebuah ancaman konservasi.

“Pembentuk undang-undang seharusnya tidak memandang Masyarakat Adat dan komunitas lokal sebagai ancaman dalam penyelenggaraan konservasi, melainkan sebagai aktor utama dan sejajar yang dapat bekerja sama dengan pemerintah,” pungkas Rukka.

Atas dasar hal tersebut, para pemohon dan Koalisi untuk Konservasi Berkeadilan mendesak Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan UU 32/2024 atau setidaknya MK harus memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan terhadap UU KSDAHE dan melibatkan Masyarakat Adat, komunitas lokal dan pihak-ihak yang memiliki fokus isu pada konservasi.

***

Koalisi Untuk Konservasi Berkeadilan

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Constitutional Lawyer Viktor Santoso Tandiasa, ⁠Greenpeace Indonesia, Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), Working Group ICCAs Indonesia (WGII), Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), ⁠Sawit Watch, Yayasan Pusaka, Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)⁠, Public Interest Lawyer Network (PILNET) Indonesia.

 

NAHUBUNG:

Muhammad Arman (AMAN): 0812-1879-1131 

Ermelina Singeretta ( PPMAN) : 0812-1339-904

Satrio Kusma Manggala (WALHI): 0811-593-600

Fikerman Loderico Saragih (KIARA): 0823-6596-7999

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts