Jon Afrizal*
KILAS JAMBI – Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Provinsi Jambi kembali menangkap satwa liar jenis burung gelatik hitam yang berasal dari Kota Pekanbaru Provinsi Riau, di Kota Jambi, Jum’at (17/7). Ini adalah tangkapan ke-tiga, untuk jenis burung liar, sepanjang tahun 2020 ini.
“Modus Operandi (MO) yang digunakan adalah melalui angkutan darat,” kata Kepala BKSDA Provinsi Jambi, Rahmad Saleh.
Menurutnya, sebanyak 240 ekor burung jenis gelatik hitam ini akan dibawa menuju Provinsi Lampung, untuk seterusnya dijual di Pulau Jawa.
Meskipun jenis gelatik hitam tidak termasuk ke dalam Convention on International Trade in Endangered Species (CITES), tetapi, tata cara penjualannya adalah tanpa izin.
“Seharusnya, burung jenis ini tidak ditangkap di alam, melainkan dianggarkan,” katanya.
Sebab, menangkap jenis burung yang hidup di dataran rendah hingga ketinggian 2.000 meter ini dapat memutus rantai makanan di alam. Jika jenis pemakan ulat ini tidak ada lagi di alam, maka akan tercipta ketidakstabilan.
Gelatik hitam adalah jenis burung berkicau. Tetapi, beberapa orang mengatakan, burung ini harus “diisi” terlebih dahulu agar bisa berkicau. Ini sangat terkait dengan metafisika.
Rahmad mengatakan, jalur darat biasanya digunakan untuk penjualan tanpa izin ini. Pihak BKSDA Provinsi Jambi pun telah melakukan penangkapan sebanyak dua kali perdagangan satwa liar jenis burung dengan menggunakan bus, dan satu kali dengan menggunakan kendaraan pribadi.
Penangkapan ini sendiri adalah kerjasama antara BKSDA Provinsi Jambi dengan sebuah NGO yang telah melakukan investigasi terhadap perdagangan satwa liar jenis burung, yakni, FLIGHT : Protecting Indonesian’s Birds.
Direktur FLIGHT: Protecting Indonesian’s Birds, Marison Guciano mengatakan sepanjang dua tahun terakhir ini sebanyak 100.000 ekor burung asal Pulau Sumatera diperdagangkan ke luar, terutama Pulau Jawa.
“Ada tiga jalur keluar dari Pulau Sumatera; yakni Kualanamu, Tanjungpinang dan Bakauheni,” kata Marison.
Menurutnya, yang jadi titik perhatian adalah bahwa burung dalam jenis apapun adalah sebagai agen penyebar benih tumbuhan. Dengan berkurangnya jenis burung di alam, maka tumbuhan baru secara alami pun tidak ada.
“Ini memang bukan issue sexy. Tetapi, semakin berkurangnya burung berbanding lurus dengan tingkat kerusakan alam,” katanya.
Terus merosotnya jumlah burung di alam bebas Pulau Sumatera, beberapa spesies bahkan termasuk ke dalam kategori CITES, adalah karena perdagangan tanpa izin.
Dengan berbagai cara, seperti berpura-pura sebagai penangkar, para pelaku berbisnis burung secara illegal. Sehingga, katanya, mata rantai perdagangan tanpa izin ini harus diputus.
“Kota Jambi adalah titik penting. Sebab menjadi tempat transit bagi perdagangan tanpa izin ini,” katanya.
Sehingga, katanya, untuk ke depannya, pihaknya akan tetap berkerja sama dengan BKSDA Provinsi Jambi untuk mencegah itu terjadi. Dan, tidak tertutup kemungkinan, juga menjalin kerjasama dengan pihak-pihak lainnya. ***
* Jurnalis TheJakartaPost