KILAS JAMBI – Masa kejayaan kerajinan sulam emas telah runtuh dua dekade lalu. Zuhriyati, 57 tahun, penenun sulam emas dari Kelurahan Tanjung Pasir, Kecamatan Danau Teluk, Kota Jambi, tetap teguh melestarikan kerajinan yang berumur ratusan tahun itu.
Dengan adanya aktivitas penenun generasi ketiga ini, mampu menyelamatkan warisan leluhur yang nyaris punah. Tenun sulam emas yang melegenda.
Sedari dulu para perempuan di Jambi Kota Seberang ini membuat tenun dengan benang emas. Seiring kemajuan zaman, para perempuan meninggalkan riasan busana dari “emas”. Lantaran kalah pamor dengan hiasan bernapas modern.
Padahal dengan sulaman emas membuat kain-kain perempuan tampak indah dan mewah. Ratusan tahun silam, orang yang menggunakan busana bersulam emas berasal dari kalangan bangsawan, bukan dari masyarakat biasa.
Beragam sulam emas mempercantik kain yang digunakan untuk upacara adat. Jenisnya adalah sulaman berbentuk ombak yang berfungsi sebagai penghias pelaminan, pakaian adat, baju pengantin, kipas pengantin dan selendang.
Saat ditemui di rumahnya, Zuhriyati menuturkan puncak kejayaan sulam benang emas sekitar tahun 1990 hingga tahun 2000-an. Hampir seluruh lapis masyarakat menggunakan sulam emas. Tidak hanya pakaian dalam upacara adat dan pengantin melainkan pada perabot rumah tangga seperti seprei, bantal, guling, taplak meja dan gorden.
Namun setelah 20 tahun berlalu, permintaan terhadap sulam benang emas hanya datang dari busana pengantin dan penari. Itu pun pesanan setiap bulan dapat dihitung jari. Kendati demikian, perempuan pewaris sulam emas generasi ketiga ini, tidak menyerah. Dia akan mewariskan pengetahuannya kepada anak-cucu bahkan setiap orang yang ingin mempelajarinya.
Perempuan berusia lebih dari setengah abad ini mengatakan sulam benang emas memiliki banyak motif, di antaranya motif tampuk manggis, bunga tanjung, bunga melati, dan sebagainya.
Motif-motif ragam hias tersebut mengacu pada segala sesuatu yang ada di alam sekitarnya. Beberapa motif yang dulu digunakan kaum bangsawan, memang tidak bisa digunakan sembarangan.
Proses pembuatan sulaman, sambung Zuhriyati, diawali dengan pemilihan kain yang akan disulam. Tentu saja pemilihan kain tersebut disesuaikan dengan kebutuhan. Setelah itu, pola motif ragam hias digambar di atas kain yang tersedia, lalu kegiatan menyulam dapat dilakukan.
Untuk saat ini, sulam benang emas yang termasuk dalam kearifan lokal dan budaya Jambi mulai terlupakan karena kemajuan zaman. Sehingga para penenun emas kehilangan pangsa pasar. Permintaan terhadap kerajinan ini terus mengalami penurunan.
Status nyaris punah yang mendera kerajinan sulam emas tampak jelas pada dekorasi pernikahan yang berhias bunga buatan atau plastik warna-warni. Tidak seperti dahulu yang selalu menggunakan sulaman emas.
Masyarakat menilai sulam emas terlalu kuno. Sementara keinginan banyak orang merupakan dekorasi minimalis natural dan modern klasik dari Eropa dan kemewahan gaya Timur Tengah.
Saat ini para penenun sulam benang emas Jambi berada di jalan sunyi. Masih terus berharap masa kejayaan sulam emas kembali terulang. Para generasi muda tertarik mempelajari dan pemerintah memberikan perhatian dan membuat program penyelamatan. (wendi)