• Tanggal 6 Januari menjadi hari penting tonggak sejarah berdirinya Provinsi Jambi secara otonom.
• Provinsi Jambi yang kini menginjak usia 64 tahun. Usia yang cukup matang, ternyata masih menyimpan berbagai persoalan, terutama lingkungan hidup.
• Namun nyatanya persoalan lingkungan hidup, tidak menjadi bagian penting di hari bahagia ini. Persoalan lingkungan hidup hanya secuil disinggung dalam pidato pemimpin Jambi.
Berikut liputan Gresi Plasmanto untuk kilasjambi.com spesial untuk ulang tahun Provinsi Jambi.
***
Mobil-mobil apik plat merah milik pejabat penting terparkir di halaman gedung DPRD Provinsi Jambi. Di luar dan di dalam gedung wakil rakyat terlihat ramai dibanding hari biasanya.
Pagi itu Rabu (6/1/2021), ternyata jadi hari bahagia untuk para handai taulan dan tetamu istimewa. Mereka sedang menghadiri helatan sidang paripurna memperingati hari jadi Provinsi Jambi ke-64.
Memasuki ke gedung, para pejabat penting dan isterinya mengenakan busana terbaiknya, pakaian adat khas Jambi.
Suara pidato dari Gubernur Jambi Fachrori Umar lamat-lamat terdengar dari luar ruangan lewat speaker yang dipasang di setiap sudut gedung. Tak semua orang bisa masuk ke ruangan sidang karena pembatasan kapasitas hadirin.
Hadirin yang berada di dalam ruangan sidang atau pun di luar sidang, seksama mendengarkan pidato dari sang pemimpin Jambi. Bagaimana isi pidato dari sang pemimpin negeri berjuluk “Sepucuk Jambi Sembilan Lurah” itu.
Dalam salinan sambutan Gubernur Jambi Fachrori Umar, melulu bicara soal keberhasilan Jambi dalam kepemimpinannya. Ia lebih banyak menyampaikan indeks pembangunan manusia, pembangunan energi kelistrikan sampai berbagai macam penghargaan yang diraih.
Provinsi Jambi, sebuah negeri yang berada di daerah tengah Pulau Sumatra genap berusia 64 tahun. Pada usia yang sudah cukup tua dan matang itu berbagai persoalan masih dihadapi Jambi, khususnya mengenai persoalan lingkungan hidup.
Tapi di hari bahagia ini, pidato dari sang Gubernur Jambi itu tak menyinggung persoalan lingkungan, ekologi, dan kebakaran hutan yang mengakibatkan kabut asap. Padahal persoalan lingkungan ini penting untuk hajat hidup penduduk Jambi yang tercatat berjumlah 3,64 juta jiwa.
Dalam salinan pidato setebal 21 halaman itu, yang dibacakan Fachrori hanya satu paragraf menyinggung persoalan lingkungan. Yakni mengenai indeks kualitas lingkungan hidup (IKLH).
Secara umum indeks kualitas lingkungan hidup di Provinsi Jambi mengalami perbaikan dari 66,32 menjadi 68,06 atau hanya naik sebesar 1,74 poin seperti yang dirilis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 30 Desember 2020 lalu.
Peningkatan IKLH Provinsi Jambi Fachrori bilang, didukung oleh perbaikan indeks kualitas tutupan lahan yang cukup sigifikan, sehingga mampu
menutupi penurunan indeks kualitas air dan indeks kualitas udara.
“Kedepan kita harus memperhatikan upaya perbaikan terhadap kualitas air dan udara tersebut agar tidak terus menurun,” kata Fachrori.
Yang dibilang Fachrori adalah indeks kualitas tutupan lahan bukan tutupan hutan. Pertanyaannya bagaimana bisa tutupan lahan yang signifikan bisa meningkatkan indeks kualitas lingkungan hidup?
Bukankah yang bisa meningkatkan indeks kualitas air dan udara adalah tutupan hutan. Padahal saat ini tutupan hutan dalam kondisi yang mengkhawatirkan. Bagaimana bisa jika hutan kritis justru indeks kualitas lingkungan hidup meningakat.
Jika tidak segera diatasi akan menjadi bencana ekologi yang akan dihadapi ke depan. Lalu bagaimana kondisi tutupan hutan di Jambi saat ini?
Tinggal 800 Ribu Hektare
Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi menyatakan, tahun 2020 masih menjadi tahun yang berat bagi lingkungan di Jambi. Tutupan hutan yang seharusnya bisa sebagai penyeimbang ekosistem masih mengalami degradasi.
Dari analisis citra satelit lansat TM 8 yang dilakukan tim geographic information system (GIS) KKI Warsi, tutupan hutan Jambi tinggal 882.272 hektare. Tutupan hutan Jambi setiap tahun semakin menyusut.
“Ini menunjukkan hutan Jambi sudah sangat sedikit sehingga yang tersisa hanyalah nyaris di kawasan konservasi dan lindung,” kata Direktur KKI Warsi Rudi Syaf, dalam catatan akhir tahun yang dirilis akhir tahun 2020.
Kehilangan tutupan hutan di Jambi menurutnya, terjadi setiap tahun. Hal itu disebabkan oleh peningkatan laju ilegal logging dan penambangan emas illegal atau tambang Emas Tanpa Izin (PETI) yang sudah makin jauh masuk ke dalam hutan.
Pengamatan Warsi, kayu-kayu illegal yang beredar di Jambi mencapai 102.521 kubik atau senilai Rp307 miliar dengan asumsi nilai per kubik kayu adalah Rp3 juta.
Selain kayu ilegal kerusakan hutan juga disebabkan oleh tambang emas ilegal yang masuk ke dalam hutan. Sepanjang 2020 penambangan emas ilegal di Jambi sudah mencapai 39.557 hektare yang mencakup Kabupaten Merangin, Sarolangun, Bungo, Tebo dan sebagian kecil di Kerinci.
“Tambang emas ilegal masih saja terjadi, bahkan temuan terbaru penambangan itu semakin garang.”
Selain itu, pemanfaatan lahan di Jambi belum mengaokomodir keberadaan masyarakat, sehingga menimbulkan konflik lahan yang tidak kunjung usai.
Dari kajian KKI Warsi sedikitnya terdapat 6 kasus konflik lahan antara masyarakat dengan pemilik konsesi. Konflik ini juga terjadi pada Orang Rimba.
Pada pertengahan Mei 2020 lalu, orang rimba dari kelompok Sikar kembali berkonflik dengan PT SAL. Konflik ini merupakan akumulasi konflik-konflik sebelumnya.
Orang rimba itu bermukim di bawah perkebunan ini sejak hutan mereka dialihfungsikan menjadi perkebunan sawit. Kondisi ini kerap menimbulkan konflik dan intimidasi.
“Konflik sumber daya ini timbul karena belum ada solusi yang menyeluruh untuk masyarakat yang tinggal di areal konsesi, yang nota bene merupakan tanah leluhur mereka dari dulu,” kata Rudi Syaf.
Tidak hanya konflik, kehilangan hutan dan kerusakan ekosistem sudah menyebabkan Jambi sangat rawan dengan bencana ekologi. Kehilangan hutan dan kerusakan ekosistem sudah menyebabkan Jambi sangat rawan dengan bencana ekologi. Sepanjang 2020 dengan fenomena La Nina, curah hujan lebih banyak 20-40 persen.
Kondisi ini menyebabkan banjir terjadi di banyak tempat. Dari Catatan Warsi terdapat 11.144 rumah terendam banjir tersebar dari dari Kerinci sampai ke Kota Jambi pada tahun 2020. Dengan kondisi ini mengisyaratkan perhatian dan pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan mutlak untuk segera dilakukan.
“Perbaikan tata kelola kehutanan dan akses masyarakat mengelola hutan dan lahan menjadi sangat penting,” kata Rudi Syaf.
Mewarisi Bencana Ekologi
Bencana ekologi dampak pengelolaan sumber daya alam secara serampangan di Jambi telah memasuki tahap mengkhawatirkan. Seperti bencana kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan selalu datang saat musim kemarau.
Akibat kabut asap itu ratusan ribu penduduk Jambi harus menghirup udara kotor, sekolah libur, penerbangan terhenti, dan roda perekonomian terganggu.
Begitu pula saat musim penghujan. Tak sedikit wilayah yang terdampak banjir dan memaksa warga untuk mengungsi. Bahkan banjir telah beberapa kali terjadi di wilayah dataran tinggi, seperti Kota Sungaipenuh dan Kabupaten Kerinci.
Memasuki tahun baru 2021, sejumlah wilayah kelurahan Kota Jambi terendah banjir. Berdasarkan data yang dihimpun, sekitar 3.058 kepala keluarga terdampak korban banjir. Jumlah ini tersebar di 22 kelurahan di Kota Jambi.
Direktur Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jambi, Rudiansyah mengatakan, perubahan cuaca hanya menjadi pemicu terjadinya bencana ekologi.
Menurut dia, penyebab utama bencana ekologi itu adalah kerusakan lingkungan yang semakin masif, seperti deforestasi, dan aktivitas konglomerasi yang tidak memperhatikan aspek lingkungan.
Rudiansyah menilai selama ini pemerintah di Jambi belum secara utuh memahami konteks perubahan iklim. Penerjemahan perubahan iklim kata dia, berawal dari masifnya proses pembangunan industri atau perubahan fungsi alam menjadi industri, baik industri perkebunan, hutan tanaman industri (HTI) dan sektor properti.
“Sebenarnya akar masalahnya yang salah urus, yakni tidak terkendalinya proses pembangunan. Aktivitas ilegal yang masif, ditambah tidak ada prinsip kehati-hatian dalam memberikan izin, sehingga terjadi kerusakan lingkungan, dan itu semakin memicu terjadinya perubahan iklim,” kata Rudiansyah pada kesempatan sebelumnya.
Hasil kajian Walhi Jambi, pada bagian hulu dan tengah DAS Batanghari, ditemukan aktivitas ilegal logging, konversi hutan menjadi lahan pertanian dan perkebunan, pertambangan emas, pasir dan batu ilegal, pembangkit listrik tenaga mini yang bersumber dari aliran sungai serta izin tambang biji besi.
Kondisi ini memberikan gambaran DAS Batanghari yang mencakup wilayah Provinsi Sumatra Barat dan Jambi dalam kondisi terancam. Situasi ini tentu akan berdampak buruk terhadap kondisi bentang alam dan kehidupan penduduk di dua provinsi itu.
Sungai Batanghari yang merupakan sungai terpanjang di Pulau Sumatra dan menjadi urat nadi masyarakat, kondisinya memprihatinkan. Dari hulu sampai hilir di pesisir timur Sumatra, kondisi airnya keruh.
Langkah yang harus dilakukan pemerintah dalam mengatasi persoalan ini menurut Rudiansyah, pemerintah harus berani mengevaluasi dan menghentikan perizinan industri yang tidak mengindahkan aspek keberlanjutan lingkungan hidup.
Selain itu, diperlukan kesungguhan dan ketegasan pemerintah dalam menegakan regulasi yang ada. Permasalahan lingkungan hidup merupakan hal yang nyata, sehingga penanganan dan pencegahannya pun harus dengan aksi nyata.
Pemerintah sebut Rudiansyah, harus berani meninjau kembali kebijakan yang dalam konteks payung besar harus memperhatikan aspek lingkungan seperti penguasaan izin, baik itu izin yang legal dan ilegal. Ini menjadi cara yang efektif untuk pencegahan bencana.
“Kemudian harus ada eksekusi penegakan hukum, kalau memang ilegal ya harus berani mencabut izinnya. Tapi yang kita lihat selama ini upaya penegakan hukum tidak terkutur sampai ke akar persoalan,” kata Rudiansyah.