Jon Afrizal*
“Melambai lambai
Nyiur di pantai
Berbisik bisik
Raja Kelana”
Pagi kemarin, seorang kerabat yang berada di negara tetangga, berkirim pesan melalui aplikasi Whatsapp dengan-ku. “Kami sekeluarga di sini sedang merindu. Ingin menjenguk tanah kelahiran yang sudah lama tidak kami kunjungi,” demikian ia berkata, sembari menempelkan emoticon wajah seseorang yang sedang menangis.
Sama halnya dengan seorang teman, yang kini sedang berada jauh di negeri Ratu Wihelmina sana. Di sebuah percakapan di internet, ia berkata, “Aku pengen ngirup cuko pempek. Nak buat pempek, di sini susah nian nyari ikan belido.”
Dua kisah tadi, adalah pengalaman yang paling menyedihkan, jika di perantauan, jauh dari sanak keluarga, jauh dari tempat dilahirkan dan dibesarkan.
Ada beberapa orang kawan, yang dengan berbagai alasan, harus berganti kewarganegaraan. Semisal, harus mengikuti kewarganegaraan suaminya, karena ia ikut dengan suaminya ke negara asal suaminya.
Tetapi, rasa cinta terhadap tanah air, tetap hadir di hati dan pikirannya. Pun diturunkannya ke anak-anaknya. Meskipun, mereka tidak mengadakan berbagai upacara selayak pegawai perkantoran.
Ada banyak cara mengungkapkan rasa cinta terhadap tanah air. Yang, sekarang ini diberi penekanan dengan sebutan “nasionalisme”.
Aku sendiri, pernah mengirimkan poto serumpun padi di persawahan, kepada anak seorang kerabat, yang kebetulan waktu itu belum pernah berkunjung ke negeri asal orangtuanya ini; Indonesia.
Rasa ingin tau, tentang padi, hamparan sawah, dan komunal yang berada di sini, akhirnya membawa mereka sekeluarga untuk berkunjung ke mari. Sebab, ada keterikatan emosi, jauh di bawah alam tak sadar mereka.
Begitu pula, jika mereka membaca atau menyaksikan sesuatu di internet, terkait tanah kelahiran mereka. Meskipun, misalnya berita itu membingungkan, seperti kasus “klepon” beberapa waktu lalu, tetapi tetap saja mereka peduli tentang apa yang tengah terjadi.
Nasionalisme bukanlah slogan, seperti slogan di banyak spanduk yang sengaja digantungkan di banyak tiang di pinggir jalanan Kota Jambi. Tetapi berada jauh di lubuk sanubari. Begitu, jika kita menggunakan prasa dari sastra klasik.
Seperti para TKI yang tidak begitu paham secara teoritis tentang apa itu nasionalisme. Tetapi, tetap rindu ingin pulang, dan berusaha menabung uang untuk merealisasikannya.
Ada banyak orangtua, yang setiap malam mengingau menceracau. Ketika pagi, setelah ia bangun tidur, ia menceritakan kisah pilu tentang perang. Meskipun, mereka tidak pernah dinyatakan sebagai pahlawan, dan tidak mengenakan lencana apapun.
Ada banyak kisah sedih, jika kita mendengarkan kisah prajurit yang pernah ditugaskan di daerah-daerah konflik. Seorang prajurit, pernah berkisah kepadaku, tentang tempat tugasnya yang sangat jauh di pelosok pedalaman, dan hanya bisa dijangkau dengan berjalan kaki selama hampir 24 jam.
Tugasnya, bukanlah menenteng senjata. Melainkan, mengajari sebuah komunal tentang cara membersihkan badan; mandi dua kali sehari dengan menggunakan tumbuhan alami sejenis sabun, dan juga menggosok gigi.
Ada banyak kisah yang tidak dapat kita tulis satu persatu, terkait cara masing-masing individu untuk merealisasikan rasa cinta terhadap tanah air.
Sama seperti para guru, yang rela untuk mengajar di daerah pedalaman. Meskipun, banyak dari mereka hanya dibayar dengan gaji yang seadanya.
Dan, sama seperti kita semua, yang terhubung dengan satu bahasa; Indonesia. Yang saling mengerti, jika seseorang berkata kepada kita dengan menggunakan Bahasa Indonesia.
Bagaimana, jika suatu ketika, anda sendiri berada di suatu daerah yang tidak seorangpun memahami Bahasa Indonesia? Dan juga berbeda tradisi dengan anda? Rindu ingin pulang?
Selayak syair lagu dari Sting,
“Alien, I’m a legal alien
I’m an Englishman in New York”
Seperti kata JFK, “Right or wrong, this is my country.” Ada rasa yang tidak pernah bisa untuk diterjemahkan secara gamblang jika bicara tentang cinta terhadap tanah air.
Sama seperti seorang kerabat yang harus membawa batu gilingan cabai ketika melanjutkan sekolah ke luar negeri. Seperti pengorbanan seorang ibu untuk membesarkan anaknya, itulah tanah air.
Meskipun, ada yang kurang di dalam pelaksanaan bernegara, seperti lirik lagu Iwan Fals,
“Lusuhnya kain bendera di halaman rumah kita
Bukan satu alasan untuk kita tinggalkan”
Yang pada akhirnya, sejauh apapun kita merantau, setua apapun usia kita, tetap saja berdendang lagu “Rayuan Pulau Kelapa” dari Ismail Marzuki,
“Memuja pulau
Nan indah permai
Tanah Airku
Indonesia”
* Jurnalis TheJakartaPost