Climate Change, Buah Karangmunting dan Dapur yang Jadi Ruang Tamu

Jon Afrizal*

Climate Change atau yang dikenal dengan Perubahan Iklim, sejak beberapa waktu lalu telah menggaung dari buku-buku ke ruang kelas hingga ke seminar-seminar lingkungan skala lokal, nasional hingga internasional.

Sulit bagi banyak orang untuk menterjemahkan ke kehidupan sehari-hari, karena butuh banyak ahli untuk menjelaskannya. Namun, di sini, kita sederhanakan saja uraiannya. Agar sesama kita memahami apa yang terjadi kini.

Sekitar tahun ’90-an lalu, seorang kawan baru saja pindah di dekat SMPN 16 Kota Jambi. Tepatnya di Kelurahan Beliung Kecamatan Kota Bar, Kota Jambi.

Suasana di sana, saat itu masih sangat lengang, dengan angkutan kota (angkot), atau biasa disebut oplet berwarna kuning, yang hanya berhenti di persimpangan menuju ke sana, dan itu pun harus menunggu penumpang penuh baru berangkat, yakni di depan Lorong Nusa Indah, di Jalan Pattimura.

Jika hari telah malam, sekitar pukul 23.00 WIB, maka anda akan merasakan embun menitik dari udara, seandainya anda berada di ruangan terbuka. Dan, itu berlangsung hingga subuh.

Di areal bagian belakang, adalah kawasan yang dulu disebut Lapangan Cross, atau tepatnya di sekitar RSUD Abdul Manap. Banyak tumbuhan perdu yang disebut karangmunting di sana. Itu, kata penduduk, adalah makanan untuk satwa burung.

Buahnya sebesar buah mata kucing. Rasanya manis-manis sepat. Tetapi, lidah anda akan berubah menjadi berwarna ungu jika memakan buah itu.

Sila anda bandingkan dengan kondisi saat ini, dimana anda butuh air conditioner yang berkerja hampir 24 jam per hari. Jika tidak, suhu yang anda rasakan sangat panas dan membuat tubuh gerah berkeringat.

Saat ini, rumah-rumah rapat berjejal di sana, hingga ke arah Hutan Kota. Karangmunting pun sudah teramat sulit untuk ditemui, bahkan hingga ke kawasan Pagar Drum.

Burung, adalah satwa penebar benih tumbuhan yang alami. Ia memakan buah, lalu menjatuhkannya ke satu tempat. Selanjutnya, atas bantuan sinar ultraviolet dan hujan, tumbuhlah sebatang pohon. Begitu teori sederhananya.

Tetapi, tunggu dulu. Bagaimana satwa burung bakal datang ke sebuah daerah, jika tidak ada lagi pohon-pohon yang berbuah yang harus mereka makan?

Cerita kita tidak hanya soal semak perdu karangmunting saja. Mari, kita menyusuri kawasan Seberang hingga ke arah Kota Sengeti, sebagai pusat pemerintahan Kabupaten Muarajambi.

Beberapa dekade lalu, rumah penduduk menghadap ke arah (sungai) Batanghari. Batang, dalam bahasa Jambi berarti sungai. Sehingga cukup rumit untuk menempatkan kata “sungai” di depan kata “Batanghari”.

Rumah yang menghadap ke depan sungai, secara sadar telah menempatkan sungai sebagai sesuatu yang penting. Sebab, tertulis dalam sejarah, tentang peran Batanghari sebagai jalur perdagangan.

Sebagai sesuatu yang penting, tentu saja sungai harus terjaga, baik kebersihan dan keindahannya.

Kini, jalan darat telah dibangun tepat di belakang dapur rumah penduduk. Anda dapat saksikan sendiri, banyak dapur rumah penduduk, saat ini telah berubah menjadi ruang tamu, bahkan hingga ke arah Kota Muarabulian Kabupaten Batanghari.

Dan, sungai bukanlah menjadi hal penting lagi. Hanya menjadi, ehm, jamban atau tempat membuang sampah sisa keperluan dapur rumah tangga saja.

Ini adalah pemahaman sederhana kenapa kota ini terus menerus dilanda banjir, jika musim penghujan. Padahal, beberapa puluh tahun lalu, banjir adalah sarana untuk berbersih rumah berlantai papan, dan bukan malah membawa lumpur dari huluan ke dalam rumah.

Pembangunan, tidak patut untuk ditolak. Sebab pertumbuhan penduduk terus meningkat, meskipun banyak ahli bicara soal “dua anak cukup”.

Tetapi, mengubah bentang alam adalah melawan alam. Mengubah payo, atau payau, yakni daerah resapan air untuk menjadi areal pemukiman, tentu saja menantang banjir untuk bertandang ke rumah.

Kita akan bicara soal tata ruang, dan berbagai rekayasa yang seharusnya telah lama kita lakukan. Sebab, gerusan erosi perbukitan adalah bukti penebangan pohon. Yang membawa material lumpur ke (sungai) Batanghari, hingga airnya berubah warna menjadi cokelat tua, lalu dibumbui dengan zat mercury yang berasal dari aktifitas penambangan emas. Selanjutnya menjadi air, yang kini ada di bak mandi atau bahkan gelas yang air-nya tengah anda minum saat ini.

Dan, teramat sulit untuk tidak mengubah hutan menjadi, misalnya, perkebunan sawit, atau yang lainnya. Tidak juga dapat kita membuat gambut tetap sebagaimana mestinya, seperti di jaman dinosaurus, jika memang dinoaurus itu ada.

Sebab, roda perekonomian, begitu istilahnya, berbanding lurus dengan berubahnya sebuah dusun menjadi kota.

Keterlanjuran harus dihadang secepatnya. “Nanti dulu”, kata kawan yang lain, “kami tidak pernah melihat gunung es mencair di kutub utara sana”.

Tetapi, apakah anda harus bergantung terus menerus terhadap penggunanaan air conditioner? Merasakan kedua belah bibir kering dan akhirnya pecah-pecah? Dan, anda pun butuh pelembab bibir? Itulah Climate Change! *

* Jurnalis TheJakartaPost

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *