KILAS JAMBI – Selasa, 29 September 2020 merupakan aksi Selasaan ke-13 GERAK Perempuan, yang diadakan secara virtual dalam jaringan (daring) untuk ketiga kalinya pasca kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Jakarta sejak dua minggu lalu.
Dua titik masih mengadakan aksi Selasaan langsung seperti di depan Gedung Sate-DPRD Jabar (Bandung) dan Simpang Empat Lembuswana (Samarinda). Satu titik baru berlangsung di depan kampus Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah (Tangerang Selatan). Aksi Selasaan, baik daring maupun langsung, diikuti oleh organisasi dan individu yang secara konsisten melawan kekerasan sistematis terhadap perempuan dan kelompok minoritas lainnya.
Perempuan dan kelompok minoritas di Indonesia hingga saat ini masih menjadi kelompok yang rentan dan sering menjadi korban dari kekerasan sistematis di berbagai lini kehidupan masyarakat. Kekerasan ini tidak hanya terjadi di dalam tingkat masyarakat tetapi juga sudah melibatkan negara. Kekerasan yang dialami perempuan dan kelompok minoritas ini seperti lingkaran setan yang tidak terputus hingga saat ini.
Menyikapi hal ini, aksi Selasaan #13 yang digagas oleh GERakan Anti-Kekerasan (GERAK) Perempuan diadakan kembali secara online pada Selasa, 29 September 2020. Aksi ini diadakan dalam rangka mendesak DPR-RI memasukkan kembali Rancangan Undang–Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) ke dalam Program Legislasi Nasional Prioritas (Prolegnas Prioritas) Tahun 2020, dan mengesahkan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU P-PRT), yang juga berkaitan dengan kekerasan sistematis tersebut.
Secara historis, kekerasan dan pelecehan seksual seperti tidak ada habisnya terutama terkait dengan kekuasaan hetero-patriarki atas perempuan dan berbagai kelompok dengan identitas gender dan seksual orientasi. Perkosaan sebagai bentuk kekerasan seksual selalu hadir dalam konflik bersenjata yang melibatkan kekuasaan.
Menarik ingatan kembali, pada saat kerusuhan 1998 perempuan etnis Cina menjadi korban perkosaan. Tak hanya perkosaan, perempuan etnis Cina ini juga tidak mendapat keadilan hukum Indonesia terkait tragedi yang menimpanya. Menarik sejarah kembali, stigmatisasi buruk yang dicap pada kelompok perempuan sebagai alat represi penguasa dan negara terhadap perempuan juga dilakukan kepada Gerakan Wanita Tani (Gerwani) pada tahun 1965 yang dianggap beraliansi dengan kelompok pemberontak.
Di luar ranah konflik, kekerasan dan pelecehan seksual tetap menjadi alat represi yang terjadi di ranah privat maupun publik. Perempuan kerap kali menjadi korban kekerasan dan pelecehan seksual dalam rumah tangga (KDRT), di rumah, di jalan, di transportasi publik, di dunia kerja, di tempat pendidikan informal, di dunia maya. Komnas Perempuan mencatat kasus kekerasan terhadap perempuan pada tahun 2019 meningkat 14 persen yakni menembus 406.178 kasus, dari tahun sebelumnya 348.466. Ratusan ribu kasus kekerasan dan pelecehan seksual terhadap perempuan hanya dicatat berdasarkan kasus yang dilaporkan.
Perempuan juga sulit mengharapkan perlindungan negara. Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual hingga kini belum disahkan membuat posisi perempuan dan minoritas masih terombang ambing. Di sisi lain, perempuan dan kelompok LGBT dan difabel seringkali mendapatkan diskriminasi dalam pekerjaan karena ketentuan kerja yang tidak inklusif.
Kriteria pekerja yang harus sesuai keinginan perusahaan, sehat jasmani dan rohani, bertinggi badan tertentu, dan berpenampilan menarik menghambat seringkali menghambat perempuan dan kelompok minoritas untuk mendapat pekerjaan dan memperbaiki kehidupan ekonominya.
Oleh karena itu, GERAK Perempuan juga mengajak masyarakat luas yang anti-kekerasan seksual untuk:
- Mengawal proses pembahasan RUU P-KS dengan melakukan aksi setiap hari Selasa, baik secara aksi langsung maupun virtual.
- Membangun kolektif untuk saling menguatkan dan memajukan serta memberanikan diri dalam memperjuangkan hak dasar, terutama hak-hak korban kekerasan seksual, termasuk membangun sistem rujukan kolektif bagi korban kekerasan seksual di manapun berada.
- Mendorong Pengesahan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU P-PRT)
- Mendorong Pengesahan RUU Masyarakat Adat, serta
- Menolak RUU Ketahanan Keluarga dan Omnibus Law RUU Cipta Kerja.
GERAK Perempuan
Narahubung:
Jakarta: Dian Septi (0818-0409-5097) dan Lini Zurlia (linizurlia@gmail.com);
Samarinda: Nia Rahmawati (0857-5130-1394)
Bandung: Darwinih (0877-2774-7995)