Oleh: Rahmat Rizki Setiawan*
KILAS JAMBI – Ibnu Miskawaih merupakan seorang cendekiawan Muslim yang berkonsentrasi pada bidang cabang filsafat aksiologis. Beliau banyak berbicara filsafat moral (etika). Nama lengkap beliau adalah Ahmad Ibn Muhammad Ibnu Ya’qub Ibn Miskawaih lahir di kota Ray (sekarang Teheran) masuk wilayah Iran pada tahun 320 H/932 M, dan meninggal di Asfahan pada 421 H/1030 M.
Ibnu Miskawaih berpendapat bahwa manusia memiliki dua unsur. Manusia itu terdiri dari tubuh dan jiwa. Jiwa adalah zat bukan jismin (tubuh). Jiwa merupakan subtansi yang tidak terdiri dari unsur-unsur, sehingga tidak dapat dilihat melalui pancaindra manusia.
Jiwa dalam perspektif Ibnu Miskawaih dibagi menjadi tiga: Pertama, daya nafsu (al-Nafs al-Bahimiyyah) lebih mengarah kepada sifat binatang yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan nafsu ini berpusat di hati. Kedua, daya berani (al-Nafs al-Ghadhabiyah) yang lebih mengarah kepada sifat binatang buas, seperti keberanian melakukan sesuatu, kemarahan, dan daya ini berpusat di jantung. Ketiga, daya berpikir (al-Nafs al-Natiqoh) inilah yang membedakan antara manusia dengan makhluk lainnya, seperti yang kita ketahui bahwa manusia diciptakan dengan nafsu dan akal. Sementara hewan hanya dengan nafsu saja. Daya ini berpusat di otak.
Peran akal sangat lah besar dalam diri manusia, karena dengan akal kita bisa memikirkan tentang apa yang kita kerjakan nantinya. Apakah hal itu baik atau tidak. Jika cenderung mengutamakan natiqoh, maka kita akan selalu fokus untuk beribadah kepada Allah SWT dan tidak terpikir untuk melakukan suatu kejahatan.
Menurut Ibnu Miskawaih, akhlak adalah kondisi jiwa yang mendorong tindakan-tindakan tanpa perlu berpikir dan mempertimbangkannya. Dalam hal ini ia membahas tentang watak. Watak itu ada yang bersifat alami dan ada watak yang diperoleh melalui kebiasaan atau pun pendidikan manusia. Baginya kedua watak tersebut hakekatnya tidak alami meskipun kita lahir dengan membawa watak masing-masing.
Pada kehidupan modern, tentu setiap manusia memiliki perbedaan terutama dalam hal jiwa. Ada yang cenderung kuat pada daya nafsu, sehingga dirinya hanya berfokus untuk mengejar duniawi tanpa memikirkan apa dampak yang dihasilkan. Contohnya banyak anak muda yang hamil di luar nikah, ini terjadi karena mereka menuhankan nafsu yang sifatnya hanya kenikmatan sesaat.
Namun demikian, tidak semua nafsu itu bersifat negatif, ada juga nafsu yang positif seperti nafsu makan dan minum. Ada juga yang cenderung berfokus pada daya akal, yakni hanya berfokus untuk beribadah kepada Allah SWT. Tanpa memikirkan kehidupan dunia. Golongan ini meninggalkan kepentingan duniawi, dan mendekatkan diri sedekat-dekatnya dengan Allah SWT.
Relasi antara akhlak dengan konteks manusia di era komteporer mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Dalam kehidupan modern, seperti yang kita ketahui keluarga memiliki peran penting dalam membentuk akhlak seseorang. Namun banyak anak yang tidak mendapat didikan orang tua, karena orang tua selalu sibuk bekerja sehingga melalaikan tugas mereka sebagai orang tua untuk membimbing anak agar memiliki akhlak yang baik. Orang tua seperti ini cenderung hanya menyediakan materi untuk kebahagian anaknya, bagi mereka harta dapat membeli segalanya. Mereka tidak berpikir bahwa anak juga perlu didikan serta bimbingan dari orang tua dalam membentuk kepribadiaannya.
Kemajuan teknologi juga mempengaruhi akhlak manusia. Adanya handphone membuat manusia lalai, misalnya ketika sedang bermain game online, mereka rela membentak orang tua, dan berkata kasar. Hal ini menyebabkan turunnya akhlak manusia (dekadensi moral), bukannya menggunakan teknologi sebagai hal yang positif, tapi malah untuk kegiatan negatif. Apalagi anak kecil saat ini, mereka cenderung mencontoh apa yang mereka tonton di gadget, dan kebanyakan yang mereka tonton adalah sesuatu yang kurang baik. Sehingga banyak anak yang berkata kasar karena termotivasi dengan tontonannya.
Bisa dikatakan pada kehidupan modern ini, banyak manusia yang mengalami krisis akhlak. Peran orang tua sangat penting, terutama untuk mengawasi dan membatasi anak dalam menggunakan gawai. Orang tua harus memberikan pelajaran langsung untuk membentuk akhlak anak. Pendidikan yang baik dapat membuat seseorang memiliki akhlak yang baik pula, karena akhlak bukan bawaan lahir, akhlak dapat dirubah melalui pendidikan dan kebiasaan.
*Mahasiswa Prodi AFI UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi Angkatan Tahun 2020