Oleh : Afriansyah, M.Si
KILAS JAMBI – Tidak terasa sudah 1 tahun 3 bulan lamanya kita hidup di tengah musibah virus Covid-19 dan banyak sekali dampak yang ditimbulkan oleh virus tersebut. Mau tidak mau kita sebagai manusia harus mampu beradaptasi atau menyesuaikan diri dengan keadaan agar bisa melanjutkan roda kehidupan. Segala bentuk tindakan telah dilakukan agar penyebarluasan virus ini tidak semena-mena dan menimbulkan banyak korban jiwa.
Jika melihat data terkini yang disampaikan oleh pemerintah, khususnya di wilayah Provinsi Jambi, sudah 179 orang yang kehilangan nyawa karena virus Covid-19. Hal ini tentunya mewajibkan berbagai pihak termasuk pemerintah untuk melakukan banyak tindakan dan membuat kebijakan agar angka tersebut tidak semakin meningkat.
Salah satu tindakan atau kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka menekan angka korban Covid-19 adalah dengan menghimbau agar masyarakat tidak berkumpul dan membuat kerumunan, tempat usaha yang dibukapun juga diminta menerapkan protokol kesehatan serta membatasi jumlah pengunjung setiap harinya. Hal tersebut tentu saja sangat baik karena dengan tidak adanya kerumunan maka masyarakat tidak akan banyak yang berinteraksi secara langsung dan ini bisa meminimalisasi penyebaran virus Covid-19.
Akan tetapi berbagai respon muncul dari masyarakat terkait kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah tersebut, salah satunya yakni mereka yang menggantungkan kehidupannya dengan keramaian, seperti pedagang dan pengelola wisata. Ketika ada himbauan untuk membatasi aktivitas pastinya mereka yang dirugikan karena otomatis hal ini akan mengurangi pendapatan mereka jauh dari biasanya.
Bukan tanpa alasan, mereka kebingungan bagaimana harus menjalankan roda kehidupan sementara mereka tidak memiliki penghasilan. Ketika mereka diminta untuk membatasi usaha mereka, di satu sisi kebutuhan mereka sehari-hari tidak dapat mereka batasi, tentu saja mereka butuh penghasilan untuk megisi perut atau menafkahi keluarga mereka.
Ada sebuah permasalahan yang muncul dan menjadi masalah terkini yang selalu dibahas oleh masyarakat terkait kebijakan dan aturan yang dibuat pemerintah pada saat pandemi. Masyarakat merasa ada diskriminasi yang terjadi terkait pembatasan kerumunan yang dilakukan oleh pemerintah. Mereka menilai ada beberapa tempat yang benar-benar tidak diizinkan beroperasi, namun ada juga tempat yang diperkenankan dibuka dan jumlah pengunjung hariannya bisa mencapai ratusan jiwa.
Jika dilihat dan didengar lebih jauh, masyarakat berasumsi bahwa tempat usaha ataupun tempat wisata yang dikelola oleh masyarakat kecil sering kali menjadi tempat yang diawasi dengan ketat oleh pemerintah terkait keramaian serta standar protokol kesehatannya, bahkan beberapa tempat malah benar-benar dilarang untuk beroperasi dalam kurun waktu tertentu. Namun hal sebaliknya juga terjadi, ada beberapa tempat usaha serta wisata yang mungkin saja dikelola oleh orang atau perusahaan besar tetap beroperasi walaupun jumlah pengunjung hariannya mencapai ratusan jiwa
Jika hal seperti ini terus dibiarkan begitu saja maka masyarakat akan merasa ada diskriminasi yang dilakukan oleh pemangku kebijakan.
Sudah semestinya Indonesia, Negara yang menganut Pancasila sebagai dasar Negara memberikan keadilan bagi seluruh elemen masyarakat, jangan ada lagi diskriminasi dalam hal penerapan aturan terkait Covid-19. Jika ada tempat wisata atau usaha yang ditutup, alangkah baiknya semua ditutup saja, agar tidak memunculkan kecemburuan sosial pada masyarakat.
Begitu juga sebaliknya, apabila ada tempat usaha atau wisata yang diizinkan dengan catatan harus menerapkan standar protokol kesehatan alangkah baiknya semua diizinkan juga dan menerapkan hal yang serupa pula. Sekali lagi tentu kita semua berharap tidak adanya tebang pilih terkait aturan dan kebijakan di masa pancemi.
Dan perlu diingat bahwa Aturan dibuat bukan hanya untuk golongan tertentu saja, namun aturan dibuat untuk dipatuhi dan diikuti oleh semua unsur masyarakat. Apabila pemerintah ataupun pemangku kebijakan telah melakukan hal tersebut maka bisa diyakini bahwa tidak ada lagi kekecewaan dan teriakan nada sumbang dari masyarakat terkait aturan yang diterapkan pemerintah di masa pandemi. (***)
*Penulis merupakan Dosen di Fakultas Dakwah UIN STS Jambi