Jon Afrizal*
Kondisi lingkungan di sepanjang jalan ke lansekap Bukit Bulan yang berada di Kecamatan Limun, Kabupaten Sarolangun, membuat penulis tak sanggup berkata-kata. Areal ini disesaki dengan aktivitas penambangan emas illegal yang tak lagi memperhatikan keberlangsungan alam untuk jangka panjang.
Tercatat empat desa di sepanjang jalan itu yang kondisi lingkungannya rusak parah. Yakni Desa Temenggung, Desa Monti, Desa Muaro Mersao dan Desa Panca Karya. Begitu banyak tambang dan bekas tambang emas skala besar atau kecil yang terlihat di kiri-kanan sisi jalan.
Tanah berwarna kuning yang digali dan isinya dikeluarkan telah menyisakan batu-batu berukuran kecil dan sedang. Penduduk setempat menyebutnya “bansai”. Tidak hanya yang disebut penduduk lokal sebagai mesin larut (untuk diesel 6 pk), mesin dompeng (untuk diesel 30 pk) saja, bahkan eskavator juga turut mewarnainya.
Mereka saling menggali tanah masing-masing, dengan luasan yang sekuat tenaga mereka menggalinya. Tak satu pun aparat yang ada di sana. Sehingga, penambangan illegal ini begitu kasat mata.
Udin, seorang penambang setempat mengatakan penambangan emas di desa-desa ini bermula sejak 2008 lalu. Ini diawali dengan harga komoditi karet yang terus terun mulai dari Rp12.000 per kilogram hingga ke titik terendah yakni Rp2.000 per kilogram.
“Berbekal pengetahuan seadanya, bahwa di daerah ini banyak kandungan emas, maka kami pun menjadikannya sebagai cara mencari uang untuk menggantikan kebergantungan kami kepada komoditas karet yang tidak lagi menjanjikan,” katanya.
Penulis pernah berkunjung ke lansekap dengan sebutan Marga Bukit Bulan atau yang sekarang disebut Marga Batin Jo Penghulu ini di kisaran 2010 lalu. Sewaktu itu banyak ditemui para pendulang emas secara tradisional di Sungai Batang Limun yang airnya jernih itu.
Mereka menggunakan dulang atau nampan yang terbuat dari kayu dengan diameter 20 centimeter. Saat ini, air di sungai berwarna cokelat keruh dan tidak bisa lagi digunakan untuk kebutuhan rumah tangga atau bahkan untuk mandi sekalipun.
Sai’un, penambang yang lain mengatakan setiap yang memiliki lahan yang semula ditanami karet mulai menebangnya. Selanjutnya menggalinya untuk mendapatkan butiran emas.
Setiap pemilik lahan mengeluarkan biaya kira-kira Rp15 juta untuk membeli mesin diesel, rangka kayu hingga selang. Bagi yang tidak punya lahan, terpaksa jadi buruh tambang dengan bayaran Rp200 ribu per hari.
Setidaknya, katanya, mereka mendapatkan 1 gram hingga 5 gram emas per hari. Setiap 1 gram emas itu dihargai para penampung di Kota Sarolangun sebesar Rp500 ribu.
“Penambang mesin dompeng dapat menggali sekitar 3 meter persegi lahan setiap harinya,” katanya.
Jumlah ini tentu tidak sebanding dengan kekuatan eskavator yang dapat menggali 10 kali lipatnya per hari. Eskavator ini adalah milik para tauke di desa setempat maupun yang berasal dari Kota Sarolangun.
Ia mengatakan pihaknya cukup menggali dengan kedalaman 4 meter saja, dan dapat menemukan emas. Setelah emas tidak ada lagi, maka areal penambangan pun berpindah ke areal lain. Begitu selanjutnya, hingga luasan lahan kritis di desa-desa ini tidak terkira lagi.
Menurut Ardi, penambang yang lain, mereka tidak menggunakan zat mercury. Sebab dengan cara menggali, bukan mendulang seperti yang diketahui umum, emas yang didapat bukanlah berbentuk serbuk melainkan berukuran kecil yang dapat dipegang oleh jari-jari tangan.
Ia, juga para pelaku lainnya menyadari kondisi buruk akibat penambangan ini. Tetapi, “Kami butuh biaya untuk hidup,” katanya.
Pihak pemerintah kabupaten hingga provinsi telah melarang aktivitas ini dengan melakukan berbagai kegiatan razia. Tetapi, katanya, jika pemerintah melarang, lantas apa yang harus mereka lakukan untuk bertahan hidup.
Selain krisis air bersih, yang dicarikan solusinya dengan menggali sumur, kini tak satupun warga yang bertanam sayuran lagi. Sayuran didatangkan dari Kecamatan Singkut yang jaraknya sekitar 90 menit perjalanan darat dari desa mereka.
Akibat yang sama juga dirasakan Desa Temalang, sebagai bagian hilir desa-desa penambang ini. Kades Temalang, Amrullah mengatakan sejak penambangan emas menggila, Sungai Limun pun telah tidak bisa digunakan lagi.
“Beruntung ada sungai kecil, Sungai Limi, yang bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan air bersih,” kata Amrullah.
Selain itu, kata Amrullah, keruhnya air sungai telah mengganggu lubuk larangan mereka. Lubuk larangan adalah tempat di bagian sungai yang dalam tempat ikan banyak ditemukan.
Dalam adat setempat, lubuk larangan hanya boleh dipanen minimal dua tahun sekali. Adapun ikan yang ditemukan di sana adalah ikan lokal, seperti sema, barau, baung dan bujuak gumpung.
Pada akhir tahun lalu, katanya, pihaknya mendapat kurang dari 100 kilogram ikan untuk dibagi secara rata kepada 88 kepala keluarga (KK) di sana.
“Sebelumnya, bisa di atas 100 kilogram,” kata Amrullah.
Menurutnya, penurunan jumlah ini terjadi karena umumnya di sana adalah jenis ikan yang hidup di arus deras dan jernih. Dengan keruhnya air sungai, ikan pun mencari tempat yang lain untuk hidup.
Kondisi ini jauh berbeda dengan kondisi di Sungai Batanghari sebagai induk dari sungai-sungai kecil itu. Di Kabupaten Batanghari, misalnya, penambangan emas illegal adalah pemandangan lumrah di aliran Sungai Batanghari di sana.
Mesin-mesin dompeng berkerja siang dan malam tanpa henti. Tetapi, di sini, kandungan emas teramat kecil. Berupa serbuk-serbuk, sehingga menggunakan zat mercury untuk memisahkan butir-butir emas itu dengan tanah yang disedot oleh pipa.
Akibat dari itu semua, karena pengolahan menggunakan air dari sungai, maka air Sungai Batanghari berwarna cokelat dan keruh, ditambah zat mercury yang digunakan para penambang.
Aliran air yang merupakan daerah hulu ini mengalir terus ke Kota Jambi sebagai hilirnya. Lalu dimanfaatkan PDAM Tirta Mayang untuk memproduksi kebutuhan air bersih bagi 72.000 pelanggannya di Kota Jambi.
“Kami jadi ragu, apa benar air yang kami konsumsi adalah sesuai dengan baku mutu,” kata Risma, warga Kota Jambi.
Seharusnya, katanya, pihak pengelola air bersih diawasi sebuah lembaga yang kredibel terkait kualitas air bersih yang dihasilkannya.
Humas PDAM Tirta Mayang, Supariyadi mengatakan setiap tetes air yang mereka salurkan telah diuji baku mutunya oleh laboratorium mereka sendiri. Hasilnya, katanya, telah sesuai dengan Permenkes nomor 492 terkait kualitas air.
Riko, warga Kota Jambi lainnya, mengaku meragukannya. Sebab perusahaan daerah itu selalu dirundung masalah internal dan kini malah tengah mengadapi class action terkait tarif yang meningkat sebesar 100 persen dari Rp2.000 menjadi Rp4.000 per meter kubik air bersih.
“Beri kami kepastian bahwa air yang kami konsumsi adalah benar-benar bersih,” katanya. *
* Jurnalis TheJakartaPost