Danau Sipin di Kota Jambi kini lebih dikenal sebagai objek wisata pada umumnya. Bervakansi di Danau Sipin dengan menaiki perahu bermesin (ketek), atau hanya sekadar berjalan kaki di sepanjang arena jogging track. Hanya itulah yang biasa dilakukan para wisatawan ketika berkunjung ke objek wisata tersebut.
Interaksi kebudayaan lokal di sekitar Danau Sipin, tidak diarahkan untuk para pengunjung. Padahal masyarakat lokal di sekitar danau mempunyai sebuah kearifan lokal, Tangkul.
Aktivitas menangkap ikan dengan alat tangkap Tangkul sudah menjadi kebiasaan masyarakat di sekitar danau. Tangkul pun jamak kita temui di pinggir danau yang berada tak jauh dari pusat Kota Jambi.
Tangkul merupakan alat tangkap tradisional secara turun-temurun. Tangkul dioperasikan dengan cara merendam jaring di dalam perairan. Setelah beberapa waktu dibiarkan terendam, kemudian tangkul di angkat bersama macam jenis ikan yang masuk perangkap.
Selain memiliki histori peradaban yang amat panjang, Tangkul juga dinilai sebagai alat tangkap yang ramah lingkungan. Tangkul dirangkai dengan bambu dan jaring.
Bagi seorang Pengamat Kebudayaan, Yusuf Martum, pemerintah belum paham tentang keberadaan Tangkul, sehingga Tangkul tidak masuk pada bagian wisata di danau. Kondisi ini membuat warisan budaya Tangkul tampak sedang diabaikan dan bahkan terlupakan.
“Sayangnya pemerintah kita tidak paham tentang tangkul dan mungkin menganggapnya buruk,” kata Yusuf Martum kepada M Sobar Alfahri yang menulis untuk kilasjambi.com belum lama ini.
Padahal alat tangkap ikan, Tangkul kata Yusuf, sudah digunakan saat masa prasejarah, yakni sejak migrasi bangsa Austronesia sekitar ribuan tahun lalu. Artinya, Tangkul memiliki nilai historis, serta merupakan warisan kebudayaan dari masa prasejarah bagian dari leluhur dahulu.
“Tangkul sendiri mulai ada sejak masuknya nenek moyang kita, bangsa Austronesia yang membawa berbagai macam alat, termasuk alat penangkap ikan. Inilah budaya Nusantara asli,” kata Yusuf.
Dia mengatakan Tangkul di masa kini memiliki perbedaan di masa lampau. Tangkul di masa lampau jaringnya terbuat dari serat pohon Rami. Berbeda dengan Tangkul sekarang, yang jaringnya terbuat dari nilon ataupun senar.
Tangkul di Danau Sipin, menurut Yusuf, sangat layak dilestarikan seiring dengan perkembangan pariwisata di sana.
“Itu peninggalan bangsa kita dari masa lalu yang perlu dilestarikan. Kita bisa mengenalkan pada anak cucu kita. Orang dari luar yang tidak menggunakan Tangkul. Lagi pula itu bisa dijadikan pertunjukan pariwisata,” tuturnya.
Perkembangan ekonomi masyarakat di sekitar kawasan Danau Sipin boleh jadi tidak lepas dari keberadaan Tangkul. Hal inilah yang dirasakan oleh Amrun (65), seorang nelayan yang sampai sekarang mengggunaan Tangkul untuk mencari ikan di Danau Sipin.
Pria paruh baya ini mengatakan sudah mengenal Tangkul sedari kecil. Sebagai nelayan pengguna Tangkul, dia bisa menghidupi istri dan 7 anaknya.
“Orang tua saya seorang nelayan. Dan sekarang saya punya anak 7. Dari nelayan Tangkul, anak saya semua bisa menyelesaikan sekolah semua, tamat SMA,” kata Amru.
Kadang kala, ketika kondisi alam mendukung, Amrun bisa mendapatkan ikan di Danau Sipin sekitar 100 kilogram dalam satu hari. Dengan menangkap ikan menggunakan Tangkul berbagai macam jenis ikan dapat ia bawa pulang.
“Penghasilan nelayan ini ada waktunya juga. Kalau ikan lagi banyak, hasilnya lumayan. Sampai juga 100 kilogram dalam satu, seharga 1 juta rupiah,” ungkapnya.
Bagi Amrun, Tangkul merupakan warisan turun temurun, sehingga bisa menjadi daya tarik untuk Danau Sipin.
“Keberadaan ketek (perahu bermesin) tidak terlalu berpengaruh untuk Tangkul. Makanya keberadaan Tangkul bisa berbagi tempat,” lanjutnya.
Sedangkan Arbain (30) yang juga berprofesi sebagai nelayan pengguna Tangkul mengatakan, masyarakat sekitar menangkap ikan dengan cara yang arif. Sehingga ikan di danau sipin memiliki kesempatan untuk menurunkan generasi.
“Kita menangkap ikan tidak menggunakan cara yang kasar, seperti menyentrum. Makanya (generasi) ikan di Danau sipin tidak putus,” tuturnya.
Penulis: M Sobar Alfahri
Eitor: Gresi Plasmanto