Jon Afrizal*
M Halim masih berada di kebunnya. Pada saat matahari tepat di atas ubun-ubun kepala, Selasa (13/10).
Ia tengah memanen cabai di kebunnya yang berukuran 10 x 10 meter itu. Halim adalah anggota kelompok tani “Bangun Jaya” di Desa Pulau Mentaro, Kecamatan Kumpeh, Kabupaten Muarojambi, Provinsi Jambi. Sebuah desa yang berada di kawasan pasang surut, di pesisir pantai Timur Sumatera.
Lahan miliknya di bagi menjadi dua jenis tanaman, yakni cabai merah dan jagung bertongkol satu.
“Saya sebenarnya hanya bertanani cabai. Tetapi, harus bertanam jagung juga,” kata Halim.
Sebab, tanaman cabai rentan terhadap hama. Hama itu akan membuat buah cabai menjadi rusak.
Tetapi, dengan tanaman jagung di sebelahnya, hama justru akan memakan daun jagung, dan tidak menyerang tanaman cabai. Terlebih, buah jagung pun masih dapat dipanen dan tidak rusak.
“Ini trik agar tanaman cabai tetap bisa dipanen dengan aman,” katanya.
Sebuah trik yang biasa digunakan oleh petani cabai di sana. Sebab, harga cabai kini adalah Rp25.000 per kilogram. Dan, ia mampu menjual sebanyak 6 ton per musim panen ke pengumpul di desa.
Sementara harga jagung hanya Rp15.000 per kilogram. Dan hanya menghasilkan Rp3 juta per satu kali panen.
Ketua kelompok tani “Bangun Jaya”, Suroyo mengatakan anggota mereka terdiri dari 20 orang petani. Dengan luasan maksimal 2 hektare per petani, kini lahan yang tersedia untuk digarap adalah seluas 230 hektare.
“Kami hanya mampu memanen sebanyak satu kali dalam setahun,” kata Suroyo.
Sebab, biasanya, banjir akan datang pada bulan Oktober ini hingga bulan Mei pada tahun depan. Sehingga, apapun tanamannya, harus mengikuti pola banjir itu.
Fasilitator Desa Pulau Mentaro, dari Kemitraan Partnership, Sulaiman mengatakan, sejauh ini, pihaknya berupaya melakukan intervensi melalui peraturan desa. Tujuannya agar perekonomian masyarakat membaik.
“Adalah tidak etis jika kita membiarkan mereka terabaikan dari sisi penghasilan, tanpa memberikan solusi ke arah depannya,” kata Sulaiman.
Kepala Desa Pulau Mentaro, Masnil mengatakan ada banyak ide yang diberikan oleh Kemitraan Partnership, yang merupakan mitra Badan Restorasi Gambut (BRG) di daerah ini. Tapi, tentunya harus disesuaikan dengan sumber daya manusia (SDM) yang ada.
“Kami akan segera membuat Lubuk Larangan sepanjang 500 meter di kanal yang ada,” katanya ketika menjelaskan cara untuk meningkatkan penghasilan desa.
Lubuk Larangan ini bukanlah budaya masyarakat di wilayah hilir Provinsi Jambi, melainkan di wilayah hulu. Namun, ketika banjir datang, pada akhir bulan Oktober ini, tentu banyak jenis ikan yang berasal dari Sungai Batanghari yang akan memasuki kanal dengan kedalaman 5 meter itu.
“Dengan memasang dua bentang jaring, maka ikan akan didapat, dan ditunggui hingga masa panen,” katanya.
Ikan, terutama jenis patin, lais dan baung, adalah aset desa mereka. Warga desa banyak yang mencari nafkah dengan cara menjaring ikan.
Dengan memahami persoalan ini, perangkat desa akan segera mengeluarkan peraturan desa (Perdes) terkait memancing ikan di sungai atau di kanal di desa mereka. Inti dari Perdes itu, adalah, siapa pun pihak luar yang memancing di sungai dan kanal di desa mereka, akan didenda sebesar Rp300.000.
Desa Pulau Mentaro memiliki luasan 3.042 hektare; dimana 600 hektare adalah areal gambut. Dengan penduduk sebanyak 1.527 jiwa, jarak ke ibukota Kabupaten Muarojambi, Sengeti, adalah 77 kilometer. *
* Jurnalis TheJakartaPost