Jon Afrizal*
“Tidak ada cerita baik tentang hutan Bukit Tigapuluh saat ini. Pohon habis, madu susah didapat, dan jernang pun telah hilang.” Demikian dikatakan Bujang Rancak, Ketua Rombongan Indigenous People Orang Rimba, di Dusun Kelompang Desa Balai Rajo Kecamatan VII Koto Kabupaten Tebo, belum lama ini.
Meskipun mereka hanya terdiri dari enam Kepala Keluarga (KK) dari total 350 KK warga desa itu, tetapi sangat memahami kegunaan hutan yang asri tempat penghidupan mereka bergantung.
Anak-anak mereka bersekolah di Sekolah Satu Atap Kelompang Jaya, yang hanya berada sekitar 10 meter dari pemukiman mereka. Sekolah yang terdiri dari 50 orang siswa SD, dan 50 orang siswa SMP.
Dari sekolah yang kini sedang berjuang melawan luapan air Sungai Ceruk, anak dari Sungai Kelumpang ini lah kisah Muatan Lokal (Mulok) tentang Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) berasal, sekitar tiga tahun lalu.
Diinisiasi oleh WWF-Indonesia, para guru yang ada di sana menggali secara intens apa yang seharusnya diajarkan untuk para siswa tentang perlunya menjaga lingkungan hidup untuk keberlanjutan hidup mereka nanti.
“Pendidikan yang sederhana dan tidak rumit. Sesuai dengan keterbatasan para siswa kami sendiri,” kata Dewi Mulyati, Wali Kelas 6.
Ia turut mengajarkan Mulok ini sejak siswa berada di kelas 4. Tentu saja pengajaran setiap tingkatan kelas berbeda, sesuai jenjang mereka.
Seperti Adinka dan Inggid Indar Gomusa yang kini duduk di Kelas 6. Setiap orang diajarkan untuk mengamati satu jenis pohon, mengawasi perkembangannya dan juga manfaatnya.
“Saya memahami bahwa pohon mangga tidak hanya bisa dipanen buahnya setiap tahunnya saja untuk kami makan sekeluarga, tetapi juga bisa dijual,” kata Adinka.
Mungkin ini pemahaman yang sederhana, bagi banyak orang. Tetapi tidak bagi anak-anak yang hidup di desa penyangga Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) ini.
Orangtua mereka hanya bergantung hidup dari menjual getah karet. Seusai pulang sekolah pun mereka membantu orangtua mereka di kebun seluas masing-masing 2 hektar hingga 4 hektar itu.
“Kami harus bertanam sayur-sayuran sendiri di sekitar rumah kami. Sebab membeli sayuran cukup jauh jaraknya, ke Balai Rajo,” kata Inggid pula.
Para penduduk, beberapa dari mereka adalah perantau dari Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Lahan mereka berada di antara konsesi perkebunan milik perusahaan, baik perkebunan kelapa sawit, karet maupun akasia.
Dengan tingkat persoalan konflik lingkungan yang tinggi, seperti pembalakan, Karhutla dan illegal minning, tentunya perlu untuk menanamkan pentingnya menjaga keseimbangan alam sejak dini.
“Aktivitas penambangan emas ilegal di huluan Bukit Tigapuluh sejak lima tahun terakhir ini, telah membuat Sungai Sekalo keruh. Ikan sulit didapat, dan kualitas air tidak layak untuk dikonsumsi lagi,” kata Rusman, warga Desa Muaro Sekalo Kecamatan Sumay Kabupaten Tebo, yang juga desa peyangga TNBD.
Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Tebo, Sindi mengatakan gagasan tentang lingkungan hidup yang baik ini perlu diperluas. Pada awalnya, hanya enam SD saja yang mendapat mulok Lingkungan Hidup ini. Kini, telah menjadi 14 SD di lima kecamatan di kabupaten ini.
“Pemkab Tebo pun telah menuangkannya menjadi SK Bupati Tebo tentang Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) pada tahun 2019 ini,” kata Sindi.
Namun, lanjutnya, pihaknya menilai, adalah lebih baik lagi jika siswa SMP/MTs juga mendapat pengajaran yang sama. Kini, tengah disusun silabus terkait PLH untuk tingkat SMP/MTs.
“Mulok ini kami harap dapat juga ditularkan di kabupaten-kabupaten lainnya,” kata Sindi.
Site Manager Bukit Tigapuluh WWF Jambi, Doda Goccy Nugroho mengatakan pihaknya hanya menginisiasi saja. Para guru lah yang kemudian menggali dan menyusun apa yang harus mereka ajarkan untuk siswanya.
“Apa yang mereka ajarkan, tentunya berlandaskan pada realita yang terjadi, dan apa yang akan dilakukan selanjutnya. Agar lingkungan hidup semakin membaik,” kata Doda. ***
* Jurnalis TheJakartaPost