HIKMAH DALAM BULAN MUHARRAM

Ariyandi Batu Bara, foto: ist

Oleh: Ariyandi Batu Bara*

MUHARRAM secara etimologi adalah bulan Islam yaitu bulan pertama tahun Hijriah. Setiap memasuki bulan Muharram, biasanya ada banyak tradisi yang dilakukan oleh masyarakat di berbagai daerah di Indonesia, termasuk di Provinsi Jambi.

Tradisi yang biasanya dilakukan oleh masyarakat Jambi adalah dengan melaksanakan Pawai Obor, Santunan Yatim (memberikan infaq kepada anak-anak yatim/yatim-piatu, dan kaum dhuafa), dan Kajian Muharram, serta tradisi lainnya.

Makna lain dari Muhamrram jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia adalah “yang diharamkan.” Oleh karenanya, konsekuensi dari makna “yang diharamkan” di sini adalah berdampak pada arti sebuah ketaqwaan. Sejatinya, orang yang memiliki ketakwaan itu adalah manusia yang menjalankan segala apa yang diperintahkan oleh-Nya, sembari pada saat yang sama manusia hendaknya menjauhkan diri dari segala apa yang dilarang oleh Allah SWT. Kerjakan yang halal dan jauhkan diri dari perkara yang haram.

Tradisi yang secara kontinyu dilakukan setiap Muharram ternyata juga memiliki makna filosofis dan historis di baliknya serta mengandung hikmah yang luar biasa. Setidaknya, ada empat hikmah filosofiis-historis yang ada di dalam bulan Muharram, yaitu: 1) Mengambil pelajaran dari peristiwa yang dialami oleh para Nabi; 2) Mengingat kematian; 3) Momentum dalam memperbanyak istighfar; 4) Melakukan hijrah atau muhasabah.

Hikmah yang pertama dalam bulan Muharram ini adalah bulan di mana terdapat peristiwa besar yang dialami oleh para nabi, yaitu: Nabi Adam AS diterima tobatnya oleh Allah SWT; Nabi Ibrahim AS tidak terbakar oleh kobaran api; Nabi Nuh AS selamat dari banjir bandang; Nabi Yunus AS selamat dari ditelan oleh ikan paus; dan Nabi Muhammad SAW melakukan hijrah dari Mekah ke Medinah.

Setiap kejadian yang dialami oleh para nabi tersebut telah terjadi pada bulan Muharram. Peristiwa itu juga mengandung hikmah yang perlu diresapi oleh ummat Islam sehingga dapat mengambil pelajaran. Peristiwa besar yang dialami oleh para nabi di atas, tentu saja memiliki keteladanan yang relevan sebagai pelajaran untuk kehidupan manusia saat ini.

Tobat Nabi Adam AS yang begitu dalam dan konsisten. Beliau meminta ampunan Allah SWT yang tulus adalah pelajaran bagi manusia sekarang bahwa mintalah kepada Allah SWT, maka akan Allah SWT kabulkan. Doa yang benar-benar tulus-ikhlas, yaitu doa dan pertobatan nasuha.

Nabi Ibrahim yang tidak mempan dibakar oleh api yang menyala-nyala, juga menunjukkan suatu hikmah yang luar biasa; yaiatu bahwa kekuasaan manusia itu terbatas. Allah SWT lah sejatinya pemilik kekuasaan. Betapa pun luasnya kekuasan seorang raja untuk menghukum membakar Nabi Ibrahim AS. Namun, jika Allah SWT berkehendak, api sekalipun tunduk dan tidak berdaya untuk membakar Nabi Ibrahim. Seketika itu, hukum alam tentang api tidak berlaku. Peristiwa ini mengajarkan manusia, bahwa segala yang terjadi adalah atas izin Allah SWT.

Nabi Nuh AS yang berhasil membuat kapal yang dapat mengarungi bahtera yang luas setelah diterpa banjir bandang, juga adalah suatu hikmah bahwa seorang nabi dan sekaligus seorang ayah diuji dengan seorang anak dan istri yang durhaka kepada suami. Kan’an tidak mau menaiki kapal dan tidak tunduk dengan perintah Allah SWT. Namun, konsistensi Nabi Nuh dan ketabahannya dalam membimbing ummat kepada jalan kebenaran begitu teguh beliau lakukan, meskipun seorang anak kandungnya sendiri tidak mau mengikuti arahan dan petunjuk beliau. Mentalitas seorang Nabi Nuh tidak dapat lagi diragukan bagaimana beliau mengelola emosi dan resiliensi dalam mendakwahkan agama Allah SWT.

Nabi Yunus AS yang juga tetap konsisten berzikir kepada Allah SWT meskipun diuji dengan ditelan oleh ikan paus. Dalam kegelapan perut ikan paus itulah, ia tetap terpaut hatinya kepada Allah SWT dengan zikir yang tidak putus-putusnya. Hal ini memberikan hikmah bahwa bagaimana pun kegelapan hidup melanda kita di atas muka bumi ini, namun jangan sampai sekali pun kita lupa untuk berzikir kepada Yang Maha Pencipta.

Peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad SAW dari Kota Mekah ke Kota Medinah juga membawa satu pesan yang luar biasa; bahwasanya dalam memperjuangkan dakwah Islam harus dilakukan dengan kesabaran dan strategi yang tepat. Hari ini lebih populer disebut dengan manajemen dakwah. Konsep manajemen dakwah yang ditunjukkan oleh Nabi Muhammad SAW adalah satu konsep paripurna, di mana beliau dengan strategi yang matang dan kesabaran yang luas mampu untuk membaca situasi bahwa dakwah ini memerlukan hijrah ke Medinah, agar penolakan dakwah beliau yang semakin keras di Mekah dapat diredam dan pada masanya nanti memang menjadi kenyataan bahwa di Medinah Islam berkembang dengan pesat, sehingga kekuatan itu dapat menjadi suatu momentum untuk kembali membawa pengaruh Islam ke Mekah dengan gemilang.

Demikianlah hikmah pertama yang patut diresapi oleh manusia khususnya ummat Islam tatkala memasuki bulan Muharram. Semoga keteladanan yang diberikan oleh para nabi di atas memang benar-benar dapat kita jadikan kompas moral dalam menjalani aktivitas kehidupan di masa sekarang ini.

Hikmah yang kedua adalah bulan Muharram ini menjadi momentum yang tepat untuk menyadari bahwasanya semakin dekat manusia dengan kematiannya. Momentum pergantian tahun sejatinya ialah pertambahan usia manusia hidup di muka bumi ini. Artinya akan semakin dekat pula manusia itu dengan kematian yang suatu saat pasti akan mendatanginya. Tidak ada yang abadi di dunia ini, semua akan fana (hancur) dan akan kembali kepada Sang Maha Pencipta.

Oleh karena itulah momentum Muharram ini seyogyanya membuat manusia bersyukur sekaligus tafakur; Bersyukur karena masih diberikan jatah usia dan karenanya masih ada kesempatan ibadah. Lalu selanjutnya tafakur (berpikir), akan kemanakah setelah kehidupan di dunia ini dan sudahkan manusia itu mempersiapkan diri.

Hikmah yang ketiga adalah menjadikan bulan Muharram sebagai momentum untuk memperbanyak istighfar. Istighfar artinya ialah meminta kepada Sang Maha Kuasa untuk menutup segala aib-aib dan dosa selama ini. Sembari berbenah untuk berubah menjadi manusia yang lebih baik dari sebelumnya.

Hikmah yang keempat yaitu momentum bulan Muharram adalah saat yang tepat untuk hijrah dan muhasabah (introspeksi) diri. Hijrah di sini bukanlah hijrah (pindah) dalam konteks lokasi ruang dan waktu, melainkan perpindahan maknawi, yaitu adanya kesadaran moral untuk semakin dekat kepada Allah SWT. Muhasabah artinya menghitung apa saja yang sudah disiapkan di dunia ini sebagai bekal kehidupan di akhirat nanti. Menghitung sudahkan kita benar-benar menjadi khalifah di bumi ini yang bertugas sebagai pemimpin dan penjaga alam yang telah Allah SWT berikan kepada manusia dipelihara dengan sebaik-baiknya. Semoga Muharram kali ini benar-benar membawa kita menjadi pribadi yang baik dari sebelumnya dan memelihara hubungan baik kepada Allah SWT, kepada sesama, dan kepada alam semesta.

 

*Dosen Filsafat Islam UIN STS Jambi

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts