Oleh Tim Gemulun
Berawal dari pembacaan kami atas penanganan pendemi Covid 19 di Tanah Pilih Jambi, kami meyakini bahwa upaya penanganan sudah dilakukan dengan maksimal, upaya maksimal itu pun tidak tangung-tanggung. Sebut saja, apa yang dilakukan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota di Jambi mesti mengkaji ulang APBD mereka untuk membantu percepatan penanganan pendemi ini. Mulai dari biaya pencegahan, pengobatan, maupun pembiayaan operasional lainnya.
Lalu, adakah sepenggal kisah yang diurai oleh Tim Gugus Covid 19 di Jambi, yang kemudian mencoba “menyilau” kearifan masa lalu Jambi dalam penanganan wabah? Jawaban atas pertanyaan ini mungkin ada, atau pun tidak ada sama sekali. Jika jawabanya ada, berarti kita sudah sama-sama memahami bahwa dari data masa lalu itu tersimpan pedoman bagi masa kini, karena masa lalu selalu memberi kekuatan bagi masa depan. Jika jawabannya penanganan pendemi ini tidak belajar dari masa lalu, barangkali tulisan ini membantu untuk mengingatkan.
Diskusi Daring yang dilaksanakan oleh Komunitas Gemulun pada Sabtu 16 Mei 2020 dihadiri Jurnalis, Advokat, Peneliti, Dosen, Mahasiswa, Guru, dan Budayawan. Diskusi yang mengangkat tema “Wabah Dalam Catatan Sejarah Jambi,” menghadirkan empat narasumber, yaitu Dedi Arman(Peneliti Balai Pelestarian Nilai Budaya Kepualauan Riau), Deky Syaputra ZE(Dosen Sejarah Universitas Batanghari), M Ali Surakhman(Penggiat Budaya), dan Wenri Wanhar(Sejarawan). Keempat narasumber ini membuka pemahaman kita tentang beberapa kemungkinan ruang-ruang kajian sejarah wabah di Jambi, baik yang bersumber dari tradisi lisan, manuskrip maupun dari tinggalan arkeologi. Pemahaman itu, tentu saja tidak meninggalkan dan menanggalkan literatur tua; baik yang tersirat maupun yang tersurat.
Hari ini Jambi sedang dilanda pendemi covid 19, yang berdampak kepada semua aspek kemasyarakatan. Kita patut waspada, akan tetap tidak panik untuk menghadapi pendemi ini. Upaya maksimal yang dilakukan pemerintah hari ini, setidaknya tidaknya dapat menekan, menghilangkan penuluran pendemi ini. Pengalaman masa lalu yang pernah dialami Jambi sekitar tahun 1901, saat wabah kolera yang menyebar hingga ke pedalaman Jambi dan menewaskan + 560 orang.
Pertanyaannya adalah adakah upaya yang dilakukan pada saat itu? Jawaban atas pertanyaan ini bisa kita rujuk pada literatur yang diketengahkan Dedi Arman. Kasus kolera di Jambi ini dapat dilacak dalam pemberitaan surat kabar yang terbit tahun 1909. Koran Het Nieuws Van Den Dag terbitan 15 Oktober 1909 memberitakan Kolera di Keresidenan Jambi bulan September 1909 telah berhenti di daerah pesisisr, tetapi di pedalaman wabah ini belum bisa dihentikan. Korban meninggal dunia akibat kolera 561 orang. Dahsyatnya wabah ini terlihat dari lonjakan kasus kolera baru dan jumlah kematiannya yang bergerak cepat. Misalnya dalam bulan Juli 1909, ada 138 kasus kolera baru. Sebanyak 65 orang meninggal dunia. Surat kabar De Locomotive tanggal 6 September 1909 memberitakan kolera dari Jambi semakin jauh menyebar ke hulu dan mengancam wilayah Padangsche Bovenlanden.
Lebih lanjut disebutkan bahwa, pada Surat kabar Het Nieuws Van Den Dag tertanggal 7 Agustus 1909 memuat artikel yang cukup panjang tentang kolera di Jambi. Judulnya: Epidemi Kolera di Jambi. Artikel ini ditulis dr A.A Hijmans yang berdasarkan pemantauannya tentang wabah kolera di Jambi. Ia menyoroti tentang kondisi lingkungan dan gaya hidup masyarakat yang tidak bersih. Kolera terjadi hampir di semua wilayah Jambi baik pesisir atau pun pedalaman. Dari Jambi, diyakini penyakit ini menyebar ke daerah lainnya di Hindia Belanda.
Koran het Nieuws Van Den Dag terbitan 15 Oktober 1909 menulis, kasus kolera mendapat perhatian dari Dewan Rakyat dan Residen Belanda. Epidemi kolera di Jambi dan Muara Sabak dinyatakan berakhir namun epidemi ini menimpa wilayah Komering Hilir. Jumlah kematian akibat kolera di Jambi mencapai 2200 jiwa. Korbannya menimpa wilayah sepanjang Batanghari, dari Muara Tebo, sepanjang Tembesi ke Bangko.
Penyebaran wabah penyakit pada umumnya disebabkan kondisi lingkungan yang tidak sehat, sanitasi drainase yang buruk, serta tingkat imunitas masyarakat sendiri yang rendah sehingga mudah diserang penyakit. Dalam kasus kolera di Jambi, penyebabnya juga terkait hal ini. Sanitasi di Jambi begitu buruk. Gaya hidup masyarakatnya juga tidak sehat dengan kondisi rumah disepanjang sungai.
Upaya penanganan yang dilakukan dalam pencegah wabah ini adalah dengan cara mendisinfeksi rumah orang mati secara menyeluruh, memberikan obat kepada orang sakit. Polisi juga diminta mengawasi agar penanggulangan penyakit kolera ini dapat berjalan baik. Memantau aktivitas masyarakat termasuk mengawasi pengiriman obat-obatan. Obat-obatan dan bahan-bahan desinfeksi juga dikirim ke hilir. Rumah sakit juga menyediakan layanan khusus bagi penduduk yang terjangkit koler.
Kearifan Masa Lalu adalah Masa Depan Kita
Narasumber kedua, Deky Syaputra dalam diskusi ini menyebutkan beberapa kearifan Masyarakat Kerinci dalam menangangi wabah. Deky memulainya dengan mengutip beberapa pandangan ahli medis muslim Ibnu Hatimah dalam karyanya yang menerangkan bahwa kiat untuk menjaga imunitas tubuh dalam menghadapi penularan epidemi diantarnya seringsering menghirup udara segar; penuhi rumah dengan wangi-wangian dari sejenis bunga Myrtus atau jenis lainnya yang segar. Selain itu, juga mengolesi wajah dan tangan dengan saripati lemon serta bunga segar seumpama bunga mawar dan bunga viola. Penanganan wabah juga dilakukan dengan aktivitas membakar kayu Cendana dan kayu Gaharu, campuran air mawar dan kayu Gaharu itu juga bisa diminum.
Menurut Deky, apa yang disampaikan oleh Ibnu Khatimah juga hampir sama dengan yang dilakukan oleh orang Jambi khususnya Dataran Tinggi Jambi seperti Kerinci. Dalam penanganan wabah cacar pada tahun 90-an mereka membakar kemenyan dirumah yang terjangkit untuk menghasilkan aroma wangi dan tidak jarang juga diasap kepada si penderita. Selain itu, juga disertai dengan percikan air dari bungo gedang (Bungo Cino/Kacapiring) sebagai pendingin serta menghasilkan wewangian. Proses pengasapan yang berasal dari kemenyan yang dibakar masih dilakukan hingga hari ini seperti ketika panas tinggi dan campak pada anak atau balita. Bahkan untuk semua proses pengobatan tradisional ala tradisi leluhur tempatan.
Lebih lanjut disebut Deky bahwa Sampai hari ini ritual-ritual yang mirip masih dilakukan sama halnya ketika virus Covid-19 merebak ke Jambi hingga ke daerah Kerinci, sebagian masyarakat masih melakukan cara tradisional tersebut seperti di Kerinci Hilir. Masyarakat Desa Koto Iman melakukan ritual tolak bala dengan membakar kemenyan di lima titik dalam dusun disertai dengan menyiram air yang dicampur dengan beligo di sepanjang dusun. Selain itu juga dikumandangkan azan di lima titik tersebut selama tiga hari berturut turut.
Kisah lain pun diungkapkan dengan merujuk beberapa penangkal wabah yang ditulis para ulama Jambi Syekh Abdul Hamid Muhammad Amin Al-Banjari At-Tungkali, Haji Abdul Razak bin Kasman (Tok Janggut Grik Perak), dan Tuan Guru Haji Ahmad Faqir Al-Kerinci. Dalam paparannya diungkapkan bahwa Pada tahun 1950-AN di Kerinci terkena wabah penyakit campak, hampir setiap hari ada warga yang meninggal dunia. Kemudian penduduk kampung bertanya kepada Tuan Guru Haji Ahmad Faqir Al-Kerinci dan beliau menyarankan kepada masyarakat untuk menjalankan Shalat Hajat selama tiga malam berturut-turut, hingga pada hari ketiganya diadakan acara Mandi Berlimau kebetulan saat itu tepat pada hari Rabu bulan Safar. Alhamdulillah atas izin Allah wabah penyakit campak semakin berkurang. Sementara itu, sejarah mencatat bahwa cacar tidak hanya terjadi pada tahun 1950-an ke atas. Namun jauh sebelum itu penyakit ini juga melanda Kerinci seperti pada tahun 1882 dan 1913 (Van Aken, 1915).
Memutus Mata Rantai Penularan Wabah
Selama pendemi covid 19 ini, kita dianjurkan untuk berjemur, mencuci tangan, dan mengkarantina diri. Upaya ini patut dilakukan oleh siapa pun, untuk tujuan agar penularan wabah ini dapat terhenti. Wenri Wanhar, memaparkan bahwa dalam catatan tua yang telah disilau secara baik, ditemukan peristiwa penuluran wabah, beragam upaya pun dilakukan untuk memutus mata rantai penularannya. Satu diantaranya adalah para tetua menuliskan jimat-jimat pada gulungan timah dan emas untuk kemudian dihanyutkan ke Batanghari.
Dalam sudut pandang pola pemukiman pun sudah diajarkan oleh pendahulu kita. Menurut Ali Surakhman, pola pemukiman yang ada di Jambi khususnya di Kerinci, posisi rumah dianjurkan tidak memunggungi matahari pagi, hal ini menjadi salah satu media untuk mencegah virus, sehingga tidak jarang kita temukan sekelompok masyarakat yang duduk berkelompok untuk tujuan bujumu ahai, artinya berjemur di bawah mentari pagi.
Selain itu, pola arsitektur tradisonal Kerinci dengan parit besudut empat mengajarkan pola karantina yang dilakukan masyarakat pada waktu. Lebih lanjut disebutkan Ali Surakhman bahwa di luar parit basudut mpat, terdapat tanah ajun arah kosong yang fungsinya sebagai tempat karantina kalau ada warga yang kena wabah. Pada larik jajo selalu ada lumbung padi yang berjejer, yang fungsinya sebagai stok makanan, saat wabah, maupun pacaklik. Di luar parit basudut mpat, berjejer di tanam tanaman yang fungsinya sebagai obat, dan di dalam rumah tradisional Kerinci di bagian dapur ada sudut yang namanya “pangau”, ini tempat mandi uap dengan rempah rempah.
Disamping pengetauhan mencegah wabah, masyarakat Kerinci juga mengenal tradisi membuat wabah, seperti “upeh. Singko layau, “gembun matai”, yang termuat dalam manuskrip kuno, betapa takutnya orang di masa itu, sehingga tiap-tiap piagam raja, sultan yang di kirim ke Kerinci tak pernah tidak memuat tentang ini, seperti di KUU Tanjung Tanah, UU nan 20, UU nan 18, UU nan 8 dari Jambi dan Minangkabau, serta Inderapura. Wabah yang berkembang pada masa itu, beriringan erat dengan sistem pengobatan pada ritual “ Asyeik.”
Diskusi Daring yang berlangsung 2 Jam 30 menit ini diharapakan menjadi awal untuk kajian sejarah wabah di Jambi. Sembari itu, kita bantu pemerintah untuk memutus mata rantai penularan covid 19, dengan tetap di rumah, tidak berpergian jikalau tak penting, cuci tangan, dan jangan gunakan masker saat tidur. Selamat berbuka puasa. (*)